43. Egois

543 62 12
                                    

Runtuh.

Asa gue hancur.

Angan-angan gue lebur.

Tahu kebenaran perihal Om Angga dan Bunda ternyata bisa melukai lebih hebat ketimbang waktu gue melihat Anaya mengiyakan pernyataan cinta Noah. Demi Tuhan, ini sesakit itu. Gue bisa saja menjadi egois dengan mementingkan perasaan sendiri. Namun, jika gue memilih memenangkan hati, maka ada Bunda yang bakal gue lukai. Padahal gue telah berjanji akan melakukan apa pun demi beliau, tapi mengorbankan kisah cinta gue demi mereka apakah termasuk ke dalam apa pun itu?

Berat. Baru membayangkannya saja gue udah nggak sanggup. Mana mampu gue bersanding di sisi Anaya selamanya tapi cuma sebatas saudara. Mana kuat gue menyaksikan Anaya menikahi lelaki lain di masa depan. Tangan yang sejak lama ingin gue genggam, mana bisa gue biarkan orang lain yang mengisi celah jemarinya.

"Minum dulu, Fab."

Gue terenyak, kemudian menoleh ke samping di mana Bang Randi baru saja meletakkan dua kaleng softdrink ke atas meja. Sekarang kami duduk di teras, jarum pendek di jam tangan gue menunjuk angka sebelas. Larut, tapi gue belum mau balik ke rumah. Kepala gue berisik banget soalnya, jadi daripada insomnia sendirian di kamar, mending gue di sini dulu. Sekalian ada hal yang mau gue tanyakan ke Bang Randi. Sesuatu tentang Anaya yang akan menentukan bagaimana gue harus bersikap ke depannya. Jujur aja, untuk saat ini, rencana gue adalah menentang hubungan mereka. Gue nggak suka melihat Bunda sakit, tapi gue juga nggak mau luka. Gue udah merasakan pahitnya kehilangan Anaya sekali, gue nggak mau mengulangnya.

Kira-kira ada nggak opsi di mana gue dan Bunda bisa bahagia sama-sama?

"Fab."

Gue yang melamun dengan tatapan kosong terpaku pada permukaan meja kontan fokus ke wajah Bang Randi. Di sana, di matanya yang terlihat lelah, gue menemukan kilat cemas. Gue senyum tipis. "Hancur gue, Bang."

Bang Randi menghela napas sambil membuka salah satu tutup kaleng minuman dan menyodorkannya ke hadapan gue. "Damn," katanya, "gue ikut sakit lihat situasi kalian, Fab. Dan makin sakit lagi karena gue gak bisa bantu apa-apa. Sorry, ini menyangkut perasaan bokap gue, jadi gue gak punya power apa pun untuk menentang. Tapi lo sama Nay mungkin bisa bicarain baik-baik masalah ini ke mereka karena perasaan kalian buat satu sama lain sama berharganya."

"Gapapa, Bang. Jangankan elo, gue aja bingung harus gimana handle masalah ini. Kayak ... gak ada jalan keluar buat gue dan Anaya." Gue ketawa hambar. "But can I ask something 'bout Nay?"

"Sure."

Gue menghela napas dalam-dalam sebelum mengatakan, "Sorry kalau lancang, tapi boleh gak gue tau kenapa Om Angga kayak benci banget sama Nay?" Gue menjeda untuk mengantisipasi respons Bang Randy, dan saat dia terlihat tidak keberatan dengan tanya tersebut, gue melanjutkan, "Padahal sama lo, beliau kelihatan sesayang itu. Gue perlu tau alasannya biar bisa nilai bokap lo layak atau enggak buat nyokap gue. Lo tau sendiri kalau Bunda Lila segalanya bagi gue, Bang. Jadi gue mau beliau dapat laki-laki yang bertanggung jawab, yang sayang tulus sama beliau. Gue enggak bermaksud ngelarang, cuma dari cara Om Angga memperlakukan Nay, gue ragu buat ngasih restu. Tapi di sisi lain gue gak bisa menampik fakta kalau Om Angga orang baik. Jadi tolong jelasin biar gue tau gimana harus ambil keputusan."

Bang Randi mengalihkan pandang ke depan, menatap hampa pekarangan rumahnya yang ditumbuhi tanaman hias. Untuk jeda yang agak panjang, dia membentangkan senyap, dan baru mulai bicara setelah sekali lagi menghela napas. "Nay sebenarnya bukan anak biologis bokap gue, Fab."

Dada gue mencelos.

"Dulu, sebelum bokap sudi ngasih tau gue fakta itu, gue juga muak banget ngeliat kelakuan bokap yg kentara pilih kasih. Tapi setelah tau kebenarannya, gue jadi kasian sama beliau." Bang Randi membasahi bibir bawahnya yang kering dan melanjutkan, "Gue gak nyalahin Nay dan gak bisa nyalahin bokap juga. Karna kasarnya gini kan; masih untung Nay dipungut sama bokap, padahal kalau nurutin nafsu, atau itu gue yg di posisi bokap, gue mungkin gak bakal sudi ngerawat anak hasil perselingkuhan istri gue sendiri."

Malam ini jantung gue dihajar berkali-kali oleh kenyataan.

Gue kewalahan, Tuhan.

"Tapi sumpah gue juga gak bisa benci Nay karna dia gak tau apa-apa. Kenyataan ini justru bikin gue makin sayang sama dia, makin pengin ngelindungi dia. Adik gue itu malang banget nasibnya, 'kan? Udahlah ditinggal meninggal Mama, gak diakui ayah biologisnya, terus gak dianggap sama bokap. Gue rasanya pengin meluk Nay erat-erat sambil bilang ke dia kalau gue sayang banget sama dia."

Gue juga, Bang.

Gue sayang banget sama dia.

Tatapan Bang Randi kembali terarah ke gue, kali ini bisa gue lihat maniknya mengkilat karena air mata. "Makanya, Fab, pas gue tau ada elo yg sayang banget ke Nay, gue ngerasa lega. At least gue tau saat itu ada dua orang yg bakal rela ngelakuin apa pun buat Nay. Dua itu adalah lo dan gue. Thanks ya, Fab, udah tulus sayang sama Nay dan selalu ada buat dia pas gue gak bisa."

Gue menggeleng samar. "Apaan, ah." Minuman di meja gue ambil dan mereguknya sedikit. "Makasih infonya, bakal gue keep baik-baik. Tenang aja, Nay bakal terus gue jagain sampai kapan pun. If not as a lover, gue bakal berusaha jagain dia sebagai saudaranya." Sekarang rasanya gak lagi penting bakal gimana hubungan kita berujung sebagai dua orang yg saling cinta, Nay. Bagi gue, asal bisa terus di sisi lo dan ngejaga lo, itu aja udah cukup. Gapapa walau kita harus sodaraan. Sorry, ya Nay lo harus melalui masalah sedemikian pelik.

.
.
.

Tepat jam dua belas, gue baru pulang. Melangkah gontai memasuki rumah dan tanpa gue duga Bunda ternyata menunggu kepulangan gue. Oh, shit. Look her face. Her pretty smile. How can I have the courage to destroy it?

Bunda beringsut bangkit dari sofa dan menyongsong kedatangan gue. Raga gue dipeluk, punggung gue dielus. Seketika berat di dada meluruh. Kepala gue yang gaduh kontan senyap. Kedua lengan yang kurus tapi begitu kuat milik beliau ini sepertinya punya kekuatan magis untuk menghilangkan beban-beban pada diri anak-anaknya.

"Are you okay?"

Gue yang sedari tadi mati-matian menahan diri untuk nggak mengurai air mata spontan membenamkan wajah ke bahunya dan mulai terisak. Gue capek. Gue muak. Gue bingung.

"Kenapa, Nak?"

Suara lembut beliau menelusup ke telinga, gue makin sesak dibuatnya. Lantaran keheningan berkuasa, maka saat bibir gue melepas kata dalam nada goyah, hati gue rasanya patah.

"Gapapa, Bun. Cuma lagi capek aja."

Kepala gue diusap berulang kali, lalu kalimat penenang mulai mengudara dari lisannya. Perasaan gue yang udah compang-camping terasa mendingan. Wanita ini memang tidak ada tanding dalam menenangkan kekalutan gue.

Setelah beberapa saat gue tumpahkan rasa sakit di bahunya, Bunda pun mengurai dekapan kami. Dia usap air mata gue sambil mengulas senyum lembut. Dan tatapannya itu ... sumpah, gue bisa merasakan dengan jelas kasih sayangnya lewat tatapan tersebut. Namun, bersamaan dengan segala kenyamanan yang beliau beri malam ini, pada akhirnya dia membuat gue remuk juga kala menanyakan apa besok gue ada waktu luang atau tidak. Gue jawab ada, lalu bertanya kenapa. Beliau, dengan ekspresi berubah semringah membalas, "Bunda mau ngenalin seseorang ke kamu, Bang."

Damn.

Boleh gak gue egois aja?

***

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang