⚠️🔞⚠️
***
Katanya harus merasakan sebuah kehilangan untuk mengerti seberapa berharga arti seseorang. Omong kosong. Fabian tidak butuh ditinggalkan dulu untuk paham bahwa Anaya mengisi setengah dari dunianya. Anaya tidak perlu tidak ada dulu supaya Fabian tahu bahwa tanpa gadis itu ia tak akan baik-baik saja. Demi Tuhan, tidak perlu. Fabian sudah lebih dari paham jika eksistensi Anaya serupa sumber bahagia. Namun, mengapa semesta masih meragu?
Tanpa alas kaki, hanya menggunakan kaos tipis beserta celana kain selutut, Fabian hancur dalam setiap langkah tergesa yang diambilnya menuju pantai. Ia berlari macam orang kesetanan membelah dinginnya udara dini hari. Pasir yang dijejaki terasa menusuk telapak kaki, melukai hati.
Fabian memenuhi pinta Anaya, mendatangi tempat di mana tempo hari ia menyaksikan sunset hanya untuk menemukan bahwa apa yang Anaya bilang ternyata betulan ada. Dua buah gelang yang tersimpan rapi di samping sepasang sendal jepit menyambut Fabian dalam kebisuan.
Bergerak cepat Fabian membalikkan badan, mengedarkan pandang, berusaha mencari keberadaan si perempuan kesayangan. Enggak, enggak mungkin. Dia gak akan senekat itu, 'kan? Dia memang suka gelap, tapi di bawah lautan itu dingin. Anaya gak suka kedinginan. Fokus Fabian kacau balau selagi kakinya bergerak resah ke sana ke mari untuk menemukan sosok yang dicari-cari. Angin pantai berembus kencang menampar wajahnya yang kentara digores kecemasan. Tolong, tolong ... dia harap ini sekadar mimpi buruk. Jadi, Fabian menghentikan langkah, menyempatkan diri untuk menampar pipi sendiri dan berujung merasakan nyeri di balik rongga dada terasa kian nyata. Bukan bunga tidur, ini adalah permukaan tipis realita yang sebentar lagi menarik Fabian jatuh ke dalam kubangan duka. Menghancurkannya.
"Woi, Fab!"
Fabian menoleh ke sumber suara, terlihat Hagan dan Aji serta Noah berlari menghampirinya. Suasana di area tersebut cukup terang lantaran beberapa lampu lampion terpasang di sepanjang pantai. Fabian mengusak kasar rambut, ekspresi cemasnya mulai tertindih frustrasi. Dia sungguh berharap Anaya tidak senekat itu.
"Lo kenapa lari, nyet?" Di antara napasnya yang tersengal, Hagan bertanya. "Gue panggil-panggil—"
"Anaya—" Fabian tercekat, matanya memandang Hagan dengan sorot sarat cemas. "Dia gak ada di kamarnya."
"Ke mana, Bang?" tanya Aji.
"Nyari Nemo."
"Gak usah becanda, sih, Fab." Noah yang masih setengah mengantuk, yang ikut-ikutan lari tanpa tahu alasan Hagan dan Aji melakukannya, kontan menggerutu sebal. Demi Tuhan ini jam tiga pagi dan apa-apaan dengan komedi yang sedang Fabian suguhkan?
Fabian mengerang frustrasi, bingung bagaimana menjelaskan. Di dugaan buruknya, ia menyangka Anaya nekat menenggelamkan diri, tetapi di otaknya yang mati-matian berpikir positif, Fabian harap Anaya sedang mengajaknya main hide and seek.
"Fab?" Hagan sepertinya mulai paham situasi. Ia menatap Fabian dalam sebelum mengedarkan pandang, tampak sedang mencari sesuatu. Ketika prasangkanya menguat usai melirik sepasang sandal jepit familier di tangan Fabian, Hagan lancang mengambil asumsi. Mungkin, 'kah?
"Dia bilang mau nyari Nemo." Fabian menjelaskan dengan tampang gusar. Benaknya berkecamuk hebat sekarang. Benar-benar merasa tak karuan. "Dari kemarin dia ngomong gitu mulu. Anjing! Dia gak mungkin beneran—"
"Bro?" Noah menyela, air mukanya menyirat kengerian. "Lo udah coba telepon Nay belum?" tanyanya pada Fabian, dan begitu yang ditanya mengangkat tangan untuk menunjukkan sebuah ponsel, Noah langsung mengusap kasar wajah. Itu ponsel Anaya, ada di tangan Fabian, seakan mempertegas kenyataan; Anaya mungkin betulan tenggelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...