35. We Did

397 54 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anaya dan kerandomannya sukses bikin gue ketawa pagi-pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anaya dan kerandomannya sukses bikin gue ketawa pagi-pagi. Gue ini baru aja bangun tidur, bahkan sinar matahari belum sanggup nembus celah gorden, tapi perempuan itu sudah memberikan penghiburan. Tapi kesenangan gue langsung sirna saat ingat bahwa semalam ada janji yang gue buat dengan Ayudia; gue akan menjaga jarak dari Anaya. Ya, gue enggak punya opsi selain menepatinya.

Lamunan gue buyar ketika ponsel di tangan bergetar; panggilan masuk dari Anaya. Gue diamkan sesaat lantaran menimang-nimang, baiknya diangkat atau tidak. Sampai kemudian gue getaran itu hilang. Gue mengabaikannya. Namun, pas benda pipih itu nyaris gue lempar ke dekat bantal, layarnya kembali menyala. Oke, berisik, jadi gue mengangkatnya.

"Kenapa, Nay?" Gue berdiri, jalan ke dekat jendela dan membukanya. Lalu, di depan sana, gue menemukan senyuman Anaya yang terbingkai kusen jendela. Dia melambaikan tangan dengan tampang antusias walaupun rambutnya acak-acakan.

"Gue nebeng, ya?"

"Gak bisa. Gue berangkat sama cewek gue." Dan gue meminta maaf dalam hati saat melihat ekspresi kecewanya.
Gue berdeham sambil menyisir rambut ke belakang. Gue memejam sesaat dan menghela napas dalam-dalam. Dingin udara pagi hari menampar muka gue. "Bukannya lo udah akur lagi sama Noah? Kenapa gak bareng dia aja, sih?"

Dia mengerang. "Males!"

Gue menumpukan satu siku ke kusen jendela, menatap Anaya intens. Di momen-momen seperti ini kadang gue enggak percaya kalau banyak hal telah berubah drastis di antara kami. Padahal sebelum ada Noah dan Ayudia, gue yakin akan selamanya mendampingi Anaya sebagai teman. Teman yang menunggu timing tepat untuk membawanya ke jenjang lebih serius. Lagian dulu gue enggak pernah waswas akan kehilangan dia lantaran satu sekolah saja menganggap kami punya hubungan istimewa. Tapi siapa sangka takdir melumat seluruh rencana yang sudah gue tata dengan apik. Gue lupa mengantisipasi kemungkinan terburuk, jadi sekarang gue masih suka denial kalau gue dan Anaya kecil peluang bisa bersama.

"Gue tuh males sama dia, Bian!" ulangnya sambil manyun-manyun.

Gue bisa menahan bibir untuk tidak memuji, tapi selalu gagal mengontrol hati supaya tidak mengirim sinyal ke kepala kalau ekspresi gadis itu ... lucu.

"Oh, oke." Gue membalas singkat, berharap dia akan segera menyudahi panggilan ini. "Ya udah gue mau ma—"

"Lo gak tanya alasannya?"

Gue mengernyit. "Alasan apa?"

"Alasan gue males sama Noah."

"Nay." Gue mengusap wajah. Ada helaan napas panjang yang gue buang. "Itu urusan lo, gue enggak perlu tau."

Kekecewaan kian kentara menghiasi wajahnya. "Lo gak bawel kayak biasa. Udah gak peduli lagi sama gue, ya?"

Bukan enggak peduli, gue cuma meminimalisir perhatian ke dia. Ada hati cewek lain yang harus gue jaga.

"Gue peduli, Nay, tapi ada beberapa hal yang enggak perlu gue tau, 'kan? Problem di hubungan lo sama Noah, harusnya cukup kalian aja yang tau. Outsider kayak gue gak usah ikut campur." Dari ponsel yang menempel di telinga, bisa gue dengar gadis di ujung sana menghela napas berat. "Jangan baperan. Inget, kita cuma temen. Ada batas-batas yang enggak boleh kita lewati sebagai temen. Apalagi sekarang lo sama gue udah punya pacar, jadi ayo hargai mereka."

"You have change."

Gue senyum. "We did."

Lantas, panggilan diputuskan dari seberang. Daun jendela di depan sana ditutup, dan gue hanya bisa menatap nanar kamar perempuan itu untuk beberapa saat. Andai dulu gue punya inisiatif mengajaknya pacaran, apa hubungan kami tidak serumit ini?

Sebelum beranjak ke kamar mandi, gue menyempatkan diri meminta Noah menjemput Anaya. Namun, ternyata ini keputusan keliru, sebab bukannya diiyakan, dia malah bikin gue naik pitam pagi-pagi. Demi Tuhan homo sapiens satu itu annoying banget.

"Si Noah kelakuannya kek babi."

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang