***
Derit pintu melumat senyap, detak jarum jam menyambut Fabian. Sepasang kaki jenjangnya melangkah pelan memasuki sebuah ruangan. Hampa, adalah emosi yang selalu menyergap dada tiap kali matanya mengedar ke sudut-sudut kamar.
Didekap sunyi, dinaungi cahaya lampu duduk yang sinarnya redup termakan usia, pemuda itu mematung dengan tatap nanar terpaku pada frame besar yang menempel di dinding. Foto di dalam bingkai tampak usang, selaras banyak masa yang telah kadaluarsa.
Kepada sosok cantik yang senyumnya abadi dalam sebuah potret, Fabian berbisik, "It's been ten years, Nay." Lantas, ia paksakan satu senyuman. Namun, buku yang membisu di rak juga tahu, lelaki ini menyembunyikan sendu. Merindu. "Katanya tujuh tahun setelah meninggalnya seseorang, kita bakal lupa sama suaranya. Tapi ternyata enggak, Nay. Gue masih bisa dengan jelas mengingat nada tawa lo yang kekanakan. Gak ada satu pun hal tentang lo yang luntur dari ingatan gue, dan itu dia ... masalahnya, Nay."
Fabian mengalihkan pandang, ganti menatap ranjang yang sepuluh tahun lalu jadi tempat favorit Anaya rebahan.
"Ingatan tentang lo nyiksa banget." Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, luka dari kehilangan belum juga mengering. Bahkan ketika Fabian sudah berusaha menyembuhkan diri dengan pergi jauh dari rumah, pergi jauh meninggalkan segala sesuatu yang mengingatkannya pada Anaya, tetap saja, ia tak bisa lupa. "Sembilan tahun lalu, Om Angga sama Bunda nikah. Terus selang satu tahun gue dikasih adik. Tadinya kamar ini bakal direnovasi buat adik kita, tapi Bang Randi gak setuju. Obat kangen Nay katanya, jangan dirusak. Waktu itu gue gak komentar apa-apa, gak tau juga kalau kamar lo ini beneran obat kangen atau malah jadi pengingat duka. Tapi di tahun-tahun berikutnya, gue berterima kasih sama Bang Randi. Ya, Nay. Kamar ini jadi salah satu tempat ampuh buat ngobatin kangen. Kayak sekarang, nih. Ini gue datang karena lagi kangen banget sama lo."
Meski mustahil, Fabian selalu berharap perkataannya disahuti. Namun, pada kenyataannya, hanya keheningan yang tak jemu menelan semua kata-kata setengah frustrasinya. Hanya saja walaupun hal yang demikian pasti terus berulang, Fabian tak akan bosan.
Pandangannya kembali mengunci wajah Anaya di dalam frame. "Hidup gue kacau abis lo tinggal, Nay. Gue pergi keluar kota, kuliah di sana, berharap bisa ketemu seseorang yang mampu hapus perasaan gue buat lo. Tapi zonk. Setiap perempuan yang gue temui gak ada yang sebego elo. Gak ada yang seceroboh elo. Gak ada. Ujung-ujungnya gue balik ke Bandung dan kerja di sini aja." Fabian menghela napas samar sebelum melanjutkan, "Setelah lo pergi, gue gak minat jatuh cinta lagi. Hati gue udah gue tenggelamin di Pangandaran. Sekarang tujuan gue hidup cuma mau jagain tiga perempuan; Bunda, Syaqilla, dan Aya."
Kaki itu mengambil langkah lebih dekat pada dinding, menatap lebih seksama senyuman dalam potret.
"Aya itu nama adik kita, Nay," bisiknya. "Dia sering gue ajak bobo di sini sambil gue ceritain tentang betapa baiknya elo semasa hidup. Aya bilang dia mau ketemu Mbak Nay. Mau peluk Mbak Nay kayak dia peluk Bang Bian, Mas Randi, sama Kak Qila. Aya juga bilang kalau Mbak Nay tuh cantik banget, dan anak kecil biasanya jujur. Seneng kan lo?" Fabian terkekeh hambar selagi tangannya terulur mengusap pipi Anaya. Penglihatan pemuda itu agak kabur lantaran air mulai menggenangi matanya. Ini bagian yang Fabian tidak suka; selalu gagal menahan tangis padahal bukan sekali dua kali ia berbicara seperti ini pada Anaya. Sering, tetapi waktu sebanyak apa pun sepertinya tak akan mampu mengikis kesedihan Fabian. "Nay ... walau gue udah lupa gimana rasanya baik-baik aja, tapi gue akan berusaha menjalani hidup dengan baik. Bakal bertahan. Sampai waktunya kita ketemu lagi, gue harap lo bahagia di sana. Sampai gue bisa meluk lo lagi, baik-baik dalam dinginnya pelukan samudra, ya?"
***
Tamat.
Wdyt 'bout this story?
Abis menggalau, mari uwu-uwuan di Dear, Habibati^^
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Ficção Adolescente"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...