Fabian duduk di atas motor dengan helm sudah terpasang di kepala. Ia tengah memanaskan kendaraannya di halaman rumah. Sesekali ia menengok ke bangunan sebelah, berharap mendapati keberadaan Anaya di teras sebab di jam-jam ini gadis itu biasanya sedang menunggu jemputan Noah. Namun, ternyata eksistensi Anaya nihil di sana. Fabian agak kecewa karena pagi harinya tidak diawali dengan melihat senyum manis sang sahabat.
Soal kekesalan semalam, ia tak akan memperpanjangnya. Percuma juga ngambek pada Anaya karena gadis itu akan mengulang-ulang kesalahannya.
Standar motor dinaikan, Fabian siap melajukan kendaraannya. Akan tetapi tiba-tiba saja suara Anaya seolah-olah masuk ke pendengaran. Pemuda itu menggeleng, mengira dirinya delusi. Namun, begitu hendak menarik gas pada stang, sosok Anaya mendadak muncul dari arah belakang. Anaya berdiri di depan motor Fabian sambil merentangkan tangan dan menatap Fabian sebal. Napasnya ngos-ngosan.
"Gue nebeng, ya?"
Fabian mengangkat kaca helmnya, menatap Anaya dengan satu alis terangkat. "Gak dijemput Noah?"
Gadis itu menggeleng.
"Kenapa?"
"Dia bilangnya gak bisa jemput, gak tau kenapa. Jemput ceweknya yang lain kali," canda Anaya sembari membawa langkahnya ke sisi Fabian. "Gimana?"
"Apa?"
"Gue boleh nebeng gak?"
Fabian tak menjawab. Ia sedang mempertimbangkan. Masalahnya pagi ini pemuda itu sudah janji akan menjemput Ayudia. Tak enak hati jika harus membatalkannya. Namun, di saat bersamaan ia juga tak tega menolak permintaan sang sahabat. Akhirnya, demi kenyamanan bersama, Fabian pun mengirimi Ayudia pesan.
Gue lagi-lagi nyakitin cewek yang selalu ada buat gue demi cewek yang selalu nyakitin gue. Lawak bener, aelah. Dan Fabian tertawa miris untuk ketololannya yang tak tertolong ini.
Anaya bersorak senang ketika Fabian menyodorkan helm dan menyuruhnya naik ke boncengan. Tanpa permisi, Anaya melingkarkan tangan ke pinggang Fabian, memeluknya cukup erat. Fabian mendengkus, tetapi diam-diam mengulas senyuman. Pemuda itu sempat merunduk sesaat hanya untuk menatap hampa tautan jemari Anaya di perutnya. Jemari yang dulu leluasa ia genggam tanpa takut kehilangan, dan sekarang Fabian bahkan tidak tahu apakah jemari itu masih bisa ia genggam? Masalahnya sekarang Fabian sudah merasa kehilangan. Ada sekat tak kasat mata yang menjulang di antara mereka.
Di perjalanan, Anaya berisik sekali. Suaranya terus bersaing dengan desau angin. Fabian harus berkali-kali bertanya untuk memastikan ia tak salah dengar. Anaya yang tak henti nyerocos itu, Fabian suka. Sebab rasanya sudah lama sejak terakhir kali mereka berangkat bersama. Ah, tidak selama itu juga. Terhitung baru satu bulanan keduanya tak barengan, tetapi seperti berbulan-bulan bagi Fabian.
"Bian." Suara Anaya terdengar sayup di antara gemuruh angin dan bisingnya deru kendaraan. "Do you hear me?"
Fabian mengangguk singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...