23. Masih

366 66 14
                                    

Fabian's PoV —

"Ha—"

"Bian, bisa jemput gue gak?"

Suara panik di seberang sambungan langsung bikin pundak gue tegang.

"Bisa! Lo di mana emang?" Gue segera memacu langkah ke kamar untuk mengambil kunci motor dan jaket. Di telepon, Anaya memberitahu kalau dirinya terjebak di depan gedung olahraga. Di sana katanya ramai oleh para pemuda yang baru kelar futsal. Anxiety-nya kambuh karena digoda.

Tahu apa penyebabnya dia terjebak di sana? Karena menemani si bedebah Noah latihan futsal, tapi ketika hendak pulang, anak itu pamit ke minimarket sebentar untuk membeli minum. Namun, sampai satu jam berlalu Noah tak kunjung kembali, dan Anaya yang memang gampang panik di tengah keramaian pasti kini kebingungan.

"Lo jangan panik." Gue menyambar jaket dari gantungan dalam lemari, memakainya tergesa sambil setengah berlari keluar kamar. "Tenang, oke? GOR di situ depan jalan raya, kok, jadi mereka gak bakal berani lebih dari cat calling. Nanti gue pukul mulut sampah mereka satu-satu—iya, iya, ini gue udah mau jalan. Kalau di deket situ ada Indoapril, coba ke sana. Tapi kalau buat jalan aja gemeter, lo mending diem di tempat dan pake earpods."

Gue memasukkan ponsel ke saku jaket. Saat keluar kamar, gue papasan sama Ayudia. Sial, gue sampai lupa dia di sini. Gue yang agak panik langsung menghampirinya. "Di, aku mau jemput Nay dulu. Kamu tunggu bentar, ya?"

Dia menggeleng. "Aku pulang aja, Kak. Gak enak sendirian di rumah orang."

Gue sebenarnya nggak enak hati lihat wajah dia yang terlihat agak kecewa. Tapi gue nggak punya banyak waktu untuk berbasa-basi, jadi gue iyakan maunya untuk pulang. Kami berjalan bersisian keluar rumah. Ayudia langsung menuju motornya setelah mewanti-wanti gue supaya jangan ngebut. Gue mengeluarkan motor dari garasi, berhenti sebentar di depan pagar lantaran Ayudia ada di sana.

"Kamu hati-hati juga, Di."

Ayudia tersenyum dan mengangkat satu jempolnya. "Kak Ian duluan gih."

Gue mengangguk dan langsung memacu gas motor di kecepatan tinggi, meninggalkan Ayudia yang dari kaca spion masih terlihat di sana bahkan saat gue sudah melajukan motor cukup jauh. Ah, shit, gue nggak tahu sesal macam apa yang nunggu di depan sana karena menyia-nyiakan Ayudia.

Jalan raya padat oleh kendaraan seperti biasa. Gue menyalip lihai di antara mobil dan motor. Sesekali meringis lantaran ditegur bunyi klakson dan makian seseorang. Lalu, keadaan makin memburuk karena mendadak hujan. Gue membuka kaca helm, membiarkan mata diterjang bulir-bulir air. Rasanya perih banget.

Nyaris lima belas menit berkendara macam orang kesetanan, gue pun sampai. Setelah memarkirkan motor di depan GOR, gue langsung lari ke teras gedung tersebut karena Anaya ada di sana. Dia sendirian, kelihatan lagi nahan tangisan dan gemetar sebadan-badan. Demi Tuhan, gue nggak akan memaafkan Noah.

Begitu melihat gue, tangisnya pecah. Gue tarik dia ke dalam pelukan, menepuk pelan punggungnya yang agak bergetar. Nggak peduli meski sadar kalau basah di badan gue bakal bikin dia kedinginan. "Gue di sini."

Di sela-sela isakan, dia membalas tersendat-sendat, "Gue takut banget."

"Jangan takut lagi kan gue udah di sini. Sekarang aman. Mereka gak ngapain-ngapain lo, 'kan?" Gue mendorong pelan bahu Anaya supaya bisa dengan leluasa melihat wajahnya.

Dia menggeleng.

Dada gue mencelos hebat lantaran mendapati rasa ngeri begitu kentara di mata Anaya. Dia pasti ketakutan setengah mati. "Udah, jangan nangis." Gue merapikan rambutnya yang berantakan sambil sesekali mengedip karena bulir air berjatuhan dari ujung poni, bikin mata gue buram untuk beberapa saat. Gue mengusap basah di pipinya yang masih sesenggukan. "Mau nunggu hujan reda dan balik bareng gue atau mau gue pesenin taksi aja?"

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang