Semalam, gue masih bisa denial tentang seseorang yang hendak Bunda kenalkan adalah orang lain, bukan Om Angga. Namun, hari ini, ketika gue dihadapkan pada satu meja yang sama dengan lelaki pilihan Bunda, kenyataan pahit seketika tegas adanya.
Lelaki tersebut betulan beliau.
Gue berlagak antusias di sepanjang acara makan siang ini, padahal pikiran udah lari ke mana-mana. Fokus gue buyar. Namun, di antara kacaunya suasana hati, ada satu hal bikin gue ragu untuk egois. Melihat bagaimana mereka saling tatap, bagaimana perhatiannya Om Angga pada Bunda, melihat binar hangat kembali berpendar dari mata Bunda, dan mendengar tawa mereka ... gue bersyukur. Sudah lama rasanya tak menyaksikan Bunda sebahagia ini.
Tulus yang bisa gue rasa dari setiap gerak Om Angga kala memperlakukan Bunda membuat gue terenyuh. Lelaki ini tampaknya sesayang itu pada wanita paling penting dalam hidup gue. Kini gue mulai bertanya-tanya dalam hati; masihkah gue akan bersikeras menentang hubungan mereka? Masihkah gue kukuh memenangkan perasaan sendiri?
Di akhir pertemuan ini, tepatnya setelah kami selesai bersantap, gue berinisiatif mengajak Om Angga pulang bersama karena kebetulan Bunda ada urusan mendadak dengan teman kantornya. Kami membicarakan banyak hal di perjalanan, dari rencana gue melanjutkan kuliah ke universitas mana sampai tanya basa-basi tentang pacar gue siapa. Andai beliau tahu kalau anak muda ini mendamba putri cantiknya, tapi sebentar lagi hal itu tak cuma jadi sekadar pengandaian lantaran gue bakal memberitahunya. Gue akan jujur bahwa Anaya adalah orang yang gue suka, tapi pengakuan ini tidak gue maksudkan untuk menggagalkan hubungan mereka.
Sesampainya di rumah beliau, gue diminta mampir dulu untuk sekadar ngopi. Kami pun duduk di gazebo dan melanjutkan obrolan yang sempat terjeda di mobil tadi. Sebelum mulai mengutarakan maksud, gue sempat menanyakan apakah Anaya ada di rumah. Dengan santai Om Angga menjawab tidak tahu, alhasil gue pun mengirimi gadis itu pesan singkat dan hanya selang tujuh detik balasan berupa pemberitahuan bahwa Anaya sedang pergi bersama temannya pun tertera di layar ponsel gue. Ya, gue harus memastikan Anaya tidak mendengar permohonan yang bakal gue ajukan kepada ayahnya ini.
.
.
."Om." Fabian berujar seraya menegakkan badan, lantas bersimpuh di depan Om Angga. Ia merunduk, tetap kukuh mempertahankan posisi tersebut kendati lelaki di depannya berupaya menarik tubuh Fabian untuk kembali berdiri. Tidak, dia tidak akan mampu mendongak sebelum satu pinta diutarakan. "Fabian percaya Om orang baik, percaya juga kalau Om mampu membahagiakan Bunda. Tapi sebelum itu, aku punya permintaan."
"Apa, Nak?"
"Tolong bahagiakan dulu perempuan yang Fabian cintai, baru Fabian kasih Om izin untuk membahagiakan perempuan yang Om cintai," kata Fabian sembari menggenggam kedua tangan lelaki dewasa di hadapannya.
"Siapa perempuan itu?"
"Putri Om sendiri."
"Nak ...." Om Angga kehilangan kata-kata, sungguh tidak menyangka bahwa pemuda ini akan bersimpuh untuk satu pinta yang seharusnya tidak perlu dipinta. "Bian mau sama Nay?"
"Bian mau banget, tapi Bian lebih mau Nay dapat apa yang selama ini dia impikan; kasih sayang Om Angga. Aku rela nukar bahagiaku untuk itu. Kalau aku sama Nay jadi saudara, aku masih bisa jagain dia, jadi gapapa. Om jangan merasa terhalangi dengan perasaan aku ke Nay. Silakan lanjutkan niatan baik Om ke Bunda, tapi tolong ... tolong cintai Anaya dengan benar. Tolong buat dia merasa bahwa hadirnya diinginkan di dunia. Ini permintaan sekaligus pengorbanan terakhir yang bisa aku kasih ke Nay sebagai seseorang yang mencintainya, Om."
Om Angga memalingkan wajah barang sebentar untuk menyeka sedikit air yang menggenang di sudut-sudut matanya. Mendengar ada seseorang yang bersedia mengikhlaskan kebahagiaan diri sendiri demi dirinya berhasil membuat hati beliau tertampar. Putri kecilnya yang malang. Anaya, si cantik yang telah ia sakiti selama belasan tahun dengan sikap dinginnya, adakah masih tersisa kesempatan untuk memperbaiki keadaan? Meski pasti sukar dilakukan, tetapi jika benar ada peluang, Om Angga ingin mencobanya. Bukan karena demi mendapatkan restu Fabian, melainkan karena beliau telah menyadari; sejak awal tidak sepatutnya Anaya menerima perlakuan yang sedemikian kejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Lead
Teen Fiction"Gue menaruh lo di puncak prioritas, sementara nama gue ada di urutan terakhir dari sekian hal penting dalam hidup lo. Gue yang menganggap lo terlalu berharga, atau cerita di antara kita memang enggak seistimewa yang gue kira?" Tentang Fabian yang...