34. Sadar, Bang!

460 64 10
                                    

Kedatangan gue ke tongkrongan disambut tatapan sinis Aji. Awalnya gue enggak merasa ada yang janggal, mengira dia hanya sedang bad mood dan malas beramah tamah. Ya, walau sepanjang gue berteman dengannya, dia nggak pernah jutek sama gue, sih.

Sampai kemudian gue menyadari Aji memang betulan sedang kesal ke gue.

Gue sempat melirik Hagan, dan seakan paham kebingungan gue, dia menggeleng dengan bibir bergerak melafalkan; gue juga gak tau, njir!

"Lo mikir gak sih, Bang?"

Dia menembakkan tanya tersebut saat kami berpapasan di ambang pintu dapur. Tadinya gue mau ke kamar mandi, sekalian menanyakan ada apa dengan Aji yang telah lebih dulu memasuki rumah. Namun, tiba-tiba ditanya demikian tanpa awalan yang jelas kontan saja bikin gue bingung.

"Apa nih tiba-tiba ngegas?"

Gue ketawa canggung, beneran clueless atas alasan yang membuatnya jadi semarah ini. Seingat gue, gue enggak habis bikin onar, terus ini anak kenapa mendadak naik pitam dan kelihatan nafsu banget nonjok gue?

Dia berdecak. Ekspresinya makin keruh. "Lo tolol banget sumpah."

"Apa sih, nyet?" Emosi gue terpancing juga. Gue dorong pelan dadanya sambil melayangkan tatapan enggak terima. "Ngomong yang jelas bisa gak?"

"Lo lupa udah punya pacar, hah?"

Hah?

Gue mengernyit. "Inget."

"Tapi postingan lo di Twitter begitu. Gak menghargai Ayudia," tuduhnya.

Oke, sekarang gue tahu duduk masalahnya. Ternyata tentang unggahan gue dan Anaya kemarin malam. Tapi yang enggak gue pahami adalah, kenapa Aji semarah ini?

"Kenapa malah elo yang sewot?" Gue masih berusaha mencari alasan logis di balik sikap adek kelas gue yang satu ini. "Ayudia aja enggak protes ke gue!"

Lalu, dia tertawa kosong, terkesan mengejek. Gue tertegun sebentar lantaran ini pertama kalinya melihat Aji tampak kecewa sekali. Sebentar, emang sesalah itu postingan tadi malam? Gue melihatnya masih dalam batas wajar. Gue jadi kepikiran, sial.

"Lo mana tau kalau dia lebih suka diem meskipun apa yang lo lakuin nyakitin dia. Lo mana tau, Bang! Soalnya lo sibuk perhatiin cewek lain!"

Sejenak, gue tertohok. Kehilangan argumen untuk kembali mendebat lantaran menemukan perkataan Aji banyak benarnya. Tapi, gue enggak bisa membiarkan dia menang begitu saja. Jadi meskipun tahu posisi gue salah, gue masih dengan tidak tahu malu membela diri, "Lo yang sok tau."

"Lo tau apa sih tentang Ayudia?"

"Tau!"

"Tanggal ulang tahunnya tau gak?" Sebelah alisnya naik. Ekspresinya itu kentara sedang meremehkan gue. "Makanan kesukaannya tau? Warna favoritnya?" Lalu bahu gue didorong.

"Gue-"

Dia memotong, "Lo terlalu fokus ke Kak Nay, Bang!" Tangannya kembali terangkat meninju pelan bahu gue, dan sialnya gue yang mulai sadar akan kesalahan hanya pasrah diperlakukan demikian. "Harusnya kalau emang masih ngarepin Kak Nay, gak usahlah pacaran sama Ayudia. Kerjaan lo itu cuma nyakitin dia, ya? Nyadar gak?"

Mendengar penuturan Aji sekaligus mengunci kilat terluka di matanya, kesadaran gue seakan-akan ditampar. Gue diem, berusaha menghadirkan kilas balik kebersamaan yang terjalin antara gue dan Ayudia. Ternyata Aji benar. Yang gue kasih ke perempuan itu memang hanya luka. Bahkan saat gue berjanji akan berhenti menyakiti diri sendiri, berhenti mengejar Anaya, gue malah mengingkarinya. Gue dengan tololnya tetap berlari pada Anaya di saat cewek itu kenapa-napa. Gue lupa bahwa sejak mengikat Ayudia dalam hubungan, harusnya Anaya tidak lagi gue prioritaskan. Gue menatap Aji, bibir gue terbuka, tapi gue gak tahu mau mengucapkan apa.

[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang