29. Kok, Sakit?

445 56 6
                                    

Gue menarik resleting jaket sambil menunggu jalanan lengang barang sebentar karena mau menyeberang. Dari posisi gue berdiri, bisa gue lihat Bang Randi duduk sendirian di teras Indoapril sana dengan fokus terarah ke layar ponsel di genggamannya. Kami memang janjian untuk bertemu. Dia yang mengajak tiba-tiba, bilang bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan. Berhubung jarak dari rumah ke sini enggak jauh, gue pun memutuskan jalan kaki. Tadi, pas mau berangkat, gue berpapasan dengan Anaya dan Noah. Mau nge-date, maybe. Gue berlagak cuek, tapi Anaya malah dadah-dadah dengan tampang semringah dari boncengan Noah yang ekspresinya pongah minta ampun. Ya, sejak kejadian tadi sore di mana gue membelikannya pembalut plus pulang bareng, hubungan kami jadi cair lagi.

Ternyata, gue memang nggak bisa mengabaikan Anaya. Dia dan sifat cerobohnya yang kerap bikin cemas itu selalu berhasil menarik atensi gue.

Gue mengambil langkah tenang kala menyeberang. Bertepatan dengan kaki gue menjejak lantai teras Indoapril tersebut, pandangan Bang Randi terangkat. Cowok itu melempar senyum sambil mengedikkan kepala.

"Oi, Bang!"

"Yoo, bro!" balasnya.

Gue menduduki kursi di sebelahnya. Meja bundar berukuran kecil yang menjadi sekat di antara kursi kami menyuguhkan dua kopi kemasan kaleng dan sebungkus Marlboro lengkap dengan pemantik apinya.

Dia menyimpan ponsel ke atas meja, lalu menggeser satu kaleng minuman itu ke depan gue. "Sorry, nih, gue nyebat. Lo tutup idung aja kalau keganggu." Lalu dia tertawa sebentar.

Gue yang tahu dia bercanda cuma bisa berdecak. "Telen semua asapnya, sat."

"Sesek napas dong gue entar."

"Ya siapa suruh ngerokok."

"Mulut gue asem, Fab."

"Cipokan, jangan nyebat."

"Saran sesat, cok!"

Tawa kami pecah setelahnya.

Gue melirik sekitar barang sebentar, lalu kembali mengarahkan fokus pada Bang Randi. Tiga meja yang tersedia di teras Indoapril ini semuanya ada yang menduduki. Agak berisik. Apalagi tepat di meja sebelah ada empat cewek ngerumpi. Gue juga sadar kalau dua dari empat cewek itu sesekali melirik ke meja gue dan Bang Randi. Jelas bukan gue target mereka. Pasalnya outfit gue malam ini macam abang-abang yang mau meronda; celana jeans lusuh selutut dipadu jaket belel yang gue sendiri lupa tahun kapan belinya. Jangan lupa sendal jepit yang tersemat di kaki. Beda sama Bang Randi yang mengenakan jaket denim dengan kain lengan dilipat hingga siku dan bawahan jeans hitam tanpa sobekan. Penampilan gue kebanting.

"Bentar, ya," kata Bang Randi sebelum menyesap ujung batang nikotin itu.

"Santai."

Minuman di meja pun gue buka, lantas gue teguk sedikit dan merogoh ponsel dari saku jaket setelahnya. Sambil menunggu Bang Randi selesai menikmati rokoknya, gue memilih mengirim pesan kepada Ayudia. Gue mulai enjoy dengan hubungan ini. Gue mulai merindukannya. Mulai menyusun banyak rencana yang ingin gue lakukan bersamanya. Kepada Ayudia, sekarang gue bisa mengakui bahwa perempuan itu telah berhasil merebut setengah atensi yang sebelumnya hanya gue tujukan untuk Anaya. Meski belum sanggup membalas tiap I love you yang dia ungkapkan, seengaknya gue kini paham tangan siapa yang mau gue genggam. Tahu, senyum siapa yang harus gue dambakan. Tahu, raga mana yang hangat peluknya gue butuhkan.

 Tahu, raga mana yang hangat peluknya gue butuhkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang