23. Kangen Artinya...

28.9K 2.9K 39
                                    

23. Kangen Artinya...?

Naomi menyambut kedatangan Arga dengan senyum lebar sampai-sampai matanya menyipit dan kulitnya mengerut. Ia menunjukkan cup es krim yang tersisa sedikit sembari berkata cepat, "Kayaknya aku enggak bisa berhenti makan kalau di sini."

Tanpa disadari, Arga mengembuskan napas lega. Ia memindah belanjaan yang ia beli di jalan pulang ke tangan kiri dan merangkul bahu Naomi dengan tangan kanan. Ia kira kondisi Naomi masih seburuk pagi tadi, meski mamanya mengatakan bahwa Naomi sudah sehat siang tadi. Sehingga melihat istrinya tengah berbahagia dengan es krim lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia pula.

"Kalau selepas melahirkan aku masih gemuk banget, gimana?"

Arga menjawab dengan mengecup pelipis istrinya. Tidak masalah. Sama sekali tidak masalah. Entah menjadi gemuk atau menjadi kurus, selama Naomi dan anaknya sehat, maka itu cukup buatnya.

"Wah, kamu tumben deh romantis pakai cium-cium aku segala. Kenapa? Gajinya enggak telat, kan?"

Arga menahan sekecil apa pun ekspresi muncul di wajahnya saat mendengar komentar istrinya sendiri. Ia lantas melepas Naomi dan membiarkan wanita itu mengedip dengan heran, sebelum mendorongnya untuk masuk ke dalam kamar yang letaknya tepat di dekat ruang keluarga. Ia lihat, mamanya masih santai mengecat kuku di sofa depan televisi. Celetukan wanita itu tak terhindarkan melihatnya mendorong Naomi masuk ke dalam kamar.

"Tuh, kamu nggak becus rawat istri lagi hamil. Sekali sama Mama langsung sehat dia, Ga."

"Mama..." Naomi yang melontarkan suara keberatan dengan tuduhan itu. "Arga baik kok, cuma kalau pagi terus mual kan memang wajar."

"Tapi buktinya dia nggak bisa bikin kamu sembuh lho..."

"Kan harus kerja." Naomi melirik Arga dengan kedipan mata yang dibuat-buat. "Biaya melahirkan sekarang itu mahal lho..."

"Ya ampun, Naomi!" Mama Nad langsung meletakkan cat kukunya ke meja dan menatap Naomi dengan mata melotot. Sesaat kemudian wanita itu seolah sadar dan segera membuat ekspresinya menjadi selembut mungkin. "Tabungan Arga itu lumayan banget lho... lumayan banget! Dulu papanya dia nikahin Mama modalnya seuprit, sekarang Arga punya banyak. Kalau dia nggak punya kan Mama punya. Enggak usah dong kamu permasalahkan soal biaya melahirkan." Dan dengan nada menyindir, ia melanjutkan, "Arga anak tunggal loh. Masa kamu nggak ngerti itu artinya gimana."

"Bukan berarti dia harus bolos kerja buat ngurus aku yang sakit, kan."

Dengan kelembutan hati yang telah kembali, Mama Nad mengangguk. Bagaimanapun ia agak bersyukur, meski juga agak gemas dengan perilaku Arga yang entah kenapa jiplak papanya banget.

"Makanya kamu tinggal di sini saja sampai kondisinya nanti membaik. Biar kalau Arga kerja ada yang ngurusin. Laki-laki di rumah ini nggak ada yang peka, tahu?"

Naomi menipiskan bibir. Tiba-tiba saja Arga menyahut bingung.

"Naomi bilang aku peka."

Kontan saja Mama Nad mendelik dan Naomi mengerutkan dahi. "Kapan?" tanya dua wanita itu bersamaan.

"Dulu." Arga menimbang dengan hati-hati sesuatu yang melintas di otaknya. "Di kantin kantor Naomi. Dia bilang peka."

"Masa sih?" tanya Naomi sangsi. "Kamu tuh jarang banget pekanya. Bisa dihitung jari. Kamu lagi bohong, kan?"

"Enggak." Arga menghela napas pelan. "Pernah. Sekali."

"Aku nggak ingat."

Arga terdiam, enggan meyakinkan lagi. Ia juga agak lupa momen apa di saat Naomi mengatakan peka padanya. Ia hanya ingat Naomi bilang peka, lalu ia mencari apa yang dimaksud dengan peka itu sendiri, dan baru mengerti belum lama ini. Peka terhadap rangsangan, peka terhadap—

Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang