38. Perasaan

21.8K 2.3K 31
                                    

38. Perasaan

Tidak banyak yang bisa dilakukan Naomi keesokan harinya ketika Arga memaksa ia menyerahkan Defandra yang belum sepenuhnya sehat ke pangkuan Mama Nad. Ia harus melepas putranya dengan berata hati, dengan perasaan khawatir yang sedikit berlebihan dan berjanji tidak akan pergi dalam waktu lama. Mama mertunya tersenyum seolah meyakinkan bahwa Defandra pasti akan dijaga dengan baik.

"Me time," kata Mama Nad. "Dadah sama mama papa, sayang." Ia melambaikan tangan Defandra yang gemuk dengan lucu.

Naomi tersenyum meski masih merasa berat hati. Ia masuk mobil begitu Arga agak mendorongnya, sesaat kemudian ia telah berada jauh dari rumahnya sendiri, entah mau dibawa ke mana oleh Arga. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun selain jalan berdua sambil makan dan barangkali, kalau perlu, sedikit berbelanja. Membawa Defandra yang masih bayi tidak akan membuat Naomi leluasa melakukan apa pun. Padahal, meninggalkan Defandra juga tidak lantas membuat Naomi leluasa.

"Jangan lama ya," katanya di tengah perjalanan.

"Tiga jam," sahut Arga.

"Kelamaan, Ga. Satu jam juga kelamaan."

"Satu jam cuma di jalan."

Naomi menggeleng prihatin. Ia tidak bisa menahan diri untuk berkata pada lelaki itu, "Kalau mau pergi berdua ya jangan jauh-jauh dong. Nggak bisa lho ninggalin bayi lama-lama. Kita bukannya cuma berdua sekarang, kita sudah bertiga."

Arga mengangguk. Ia melirik jam tangannya. Tepat ketika itu, ia memutar kemudi sehingga mobil memasuki wilayah mal terkenal di Ibu Kota. Lima belas menit, tiga puluh menit untuk pulang pergi kalau tidak ada kendala seperti macet panjang dan lain-lain. Makan dengan Naomi tidak butuh waktu yang lama, ia yakin sekali.

"Jangan panik," tegurnya setelah mematikan mesin. "Telepon mama setengah jam sekali kalau memang khawatir. Kalau yakin Defan akan baik-baik saja nggak perlu kamu lakukan saran tadi, mama yang akan telepon kalau ada apa-apa"

Naomi menghela napas pelan. Ia melepaskan seatbelt dan turun dari mobil. Arga menggandeng lengannya—sesuatu yang sekarang biasa saja untuk Naomi—dan memasuki wilayah mal. Mereka langsung menuju restoran, memesan makanan dan menunggu dengan tenang.

"Aku bukannya nggak percaya mama bakalan jagain Defan," kata Naomi pelan sekali. "Cuma, pasti setiap ibu khawatir kalau ninggalin anaknya di rumah sementara kita jalan ke luar. Defan juga belum sehat banget. Siapa tau dia rewel, dia butuh aku, atau nanti susunya habis."

"Mi."

"Semenjak ada Defan, aku benar-benar sudah nggak kepikiran mau jalan berdua atau sendirian lagi. Aku maunya kita selalu bertiga, jadi aku bisa selalu lihat Defan dan nggak kepikiran. Kamu juga ada sama kita berdua kalau dibutuhin."

Arga yakin, begitulah seorang ibu. Ia berterima kasih pada pengantar makanan pesanannya dan Naomi, baru kemudian menaruh perhatian lebih pada wanita di sampingnya.

"Sekarang Defan masih belum bisa diajak keluar." Ia juga mendorong jus pada Naomi dan memberikan sendok dan garpu yang sudah dilap dengan tisu. "Mungkin satu bulan lagi sudah bisa pergi ke tempat yang dekat-dekat."

"Harusnya nunggu sebulan lagi nggak masalah."

Entah kenapa Arga jadi gemas dengan jawaban semacam itu. Naomi tidak menyadari bahwa bagi Arga, butuh effort lebih untuk melakukan hal seperti ini dengan idenya sendiri. Ia baru dapat ide cemerlang semacam ini saat melihat Naomi menangis kelelahan dan mungkin juga patah hati, sekaligus teguran tidak langsung dari mamanya.

"Habis makan kita pulang, ya."

Arga menggeleng dengan pandangan berat hati. "Dua jam?" tanyanya agak membujuk.

Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang