33. Melahirkan

24.2K 2.5K 34
                                    

33. Melahirkan

Tiga hari menjelang HPL, Naomi merasakan sesuatu yang aneh pada perutnya. Mulanya pinggangnya terasa sakit sekali, kemudian ia merasa ingin pipis. Namun, yang keluar bukanlah air seninya, melainkan lendir kental berwarna pink yang segera saja membuatnya panik luar biasa. Ia memanggil Arga dan lelaki itu sigap menelepon dokter yang akan menangani kelahiran Naomi.

Beberapa pertanyaan diajukan seperti apakah sudah mengalami kontraksi dan jaraknya berapa menit. Karena Naomi baru merasakan sakit pinggang yang luar biasa bikin ia meringis, dokter mengatakan tunggu beberapa waktu lagi.

Selang dua jam, Naomi baru merasakan kontraksi perut selama beberapa detik, lalu hilang dan baru muncul satu jam kemudian. Mamanya dan mama mertuanya sudah datang ketika itu, siap mengantarnya ke rumah sakit sewaktu-waktu.

Pukul delapan malam, kontraksi perut yang ia rasakan semakin dekat jaraknya. Lima belas menit sekali dan kontraksinya lebih lama. Dokter baru memintanya datang ke rumah sakit. Ia duduk diapit mama dan mama mertuanya sementara Arga dan papanya di depan. Papa mertuanya berkendara sendiri di mobil lain.

“Atur napasnya, Naw, jangan merem,” pesan mamanya sambil memegangi telapak tangannya yang berkeringat.
Di depan, Arga berkali-kali menoleh padanya dengan wajah yang tegang. Bahkan lelaki itu memang sudah tegang sejak Naomi bilang lendir keluar dari vaginanya tadi.

“Mas mau pindah belakang?” tanya Mama Nad ketika Arga kembali menoleh gelisah saat Naoni meringis kesakitan.

Tanpa ditanya dua kali, Arga segera mengangguk. Mobil menepi dan ia dengan gerakan buru-buru pindah ke belakang lalu mamanya di depan. Naomi sudah lebih tenang dan berusaha mengatur napas saat itu. Arga menyentuh tangannya, menggenggamnya tanpa sanggup berkata apa-apa.

Sakit yang dirasakan Naomi bukan sakit seperti sakit perut biasa. Arga tidak dapat membayangkan seberapa sakit, ia hanya bisa menemani Naomi dan menyerahkan dirinya kiranya Naomi butuh sesuatu untuk menyalurkan rasa sakitnya.

Barangkali kontraksinya kali ini sudah betul-betul reda, Naomi menyandar ke pundak Arga. Ia hampir menangis kalau tak ingat malu di depan banyak orang. Ia biasa merasakan nyeri datang bulan, tetapi sakit kali ini berpuluh-puluh kali lipat daripada nyeri datang bulan yang biasa ia rasakan.

Napasnya seperti di ujung lubang hidung dan matanya selalu ingin terpejam.
Tiba di rumah sakit, Arga begitu latah ingin mengangkat Naomi dan segera membawanya ke ruang bersalin. Namun mama-mama yang di sana melarangnya dengan lembut.

“Biar jalan, Ga. Dituntun saja. Kalau sakit berhenti ya. Nggak pa-pa berhenti saja.”

Naomi berjalan pelan sekali dengan Arga yang tak pernah jauh darinya. Belum seberapa jauh ia melangkah, perutnya kembali diserang nyeri luar biasa. Ia meringis dan sigap Arga menyerahkan tanganya sebagai tumpuan.

“Sakit banget,” katanya lirih. Ia hampir tak tahan untuk tidak menangis, sudut matanya basah dan ia segera mengerjap untuk menghalau air mata yang lebih banyak.

Butuh lebih banyak waktu daripada seharusnya sampai Naomi tiba di ruangan yang dituju. Begitu dicek, rupanya baru terjadi pembukaan empat. Masih butuh enam pembukaan lagi untuk ia dapat mengeluarkan bayi yang kini sedang berontak di dalam dunia lamanya; perut Naomi.

Naomi masih berbaring ketika Arga duduk di sampingnya. Lelaki itu memanfaatkan waktu ketika keluarga yang lain sedang repot di luar ruangan. Ia menggenggam tangan Naomi dan menciumnya lembut.

“Kuat,” katanya terbata, dan ditambahkan dengan suara lirih, “sayang.”

Naomi ingin menangis dan tertawa bersamaan mendengar Arga memanggilnya demikian. “Harus lihat aku sakit dulu ya baru panggil sayang?”

Arga menggeleng lemah. Ia mengambilkan air putih untuk Naomi agar energi yang terbuang menahan sakit tadi sedikit tergantikan.

Wanita itu merasakan kontraksi lagi. Arga tahu karena tangannya terasa diremas erat sekali oleh Naomi.

“Aku boleh minta satu hal?” tanya Naomi di tengah usahanya menahan sakit.

“Apa?”

“Janji kamu turutin.”

“Iya. Asal bukan sesuatu yang aneh.”
Naomi meringis sampai mengerang sesaat, lalu mengatakan pada Arga dengan terbata-bata. “Beri nama Defandra ke anak kita, ya.”

Tanpa banyak kata, Arga mengangguk dan berjanji akan memberi anak mereka nama Defandra. Meski artinya ia harus mencari tahu padanan nama yang lain, tak masalah. Mencari nama untuk anaknya tak sesulit Naomi yang harus menahan sakit mati-matian demi melahirkan anaknya.

Beberapa menit kemudian, Naomi akhirnya membuang napas dan tubuhnya perlahan melemas. Selang satu jam, suster memeriksanya lagi dan mengabarkan bahwa ia telah masuk pembukaan 5 dalam waktu yang cukup cepat.

Pembukaan 6 ia peroleh lebih cepat lagi, tetapi nyeri yang ia rasakan jauh lebih sakit lagi. Ia melakukan banyak usaha untuk meredakan sakitnya: berjalan, berjongkok, duduk, berbaring, menungging. Arga tak pernah meninggalkannya meski hanya untuk kencing sekalipun.

Selepas itu dokter memberinya bius epidural. Ia agak lega karena kontraksi yang ia rasakan sedikit mereda. Namun, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu mengalir dari vaginanya. Sesuatu yang cair dan agak hangat. Baunya pesing, dan siapa pun tahu bahwa yang pesing adalah air kencing. Naomi hampir menangis karena itu kalau saja Arga tidak segera menuntunnya ke kamar mandi dan membantunya membersihkan diri.

“Aku malu,” katanya dengan suara serak. “Tapi nggak kerasa kalau mau kencing. Tiba-tiba keluar sendiri.”

“Nggak pa-pa, normal kok. Tadi banyak minum, terus dibius. Enggak kerasa kalau mau kencing.”

Namun tetap saja Naomi mengusap matanya yang sudah basah sedikit. Ia membasuh muka dengan air, lalu keluar dan berdalih ingin jalan-jalan di koridor rumah sakit. Padahal ia hanya ingin menghindari tatapan orangtuanya.

Tengah malam sudah lewat. Baik Arga dan Naomi tidak melihat jam berapa ketika akhirnya Naomi dinyatakan sudah memasuki pembukaan delapan. Ia dibawa ke ruang bersalin setelah berganti pakaian. Itu pun, ia harus menunggu beberapa lama lagi sampai dokter menyatakan ia betul-betul siap melahirkan.

Melahirkan tidak seperti yang ada di bayangan Naomi. Sama sekali beda dengan yang ada di film. Dokter memintanya mengejan tanpa suara, dengan mulut tertutup; bukan berteriak seperti adegan film Indonesia yang dulu pernah ia tonton. Ia mengejan seperti akan buang air besar.

Naomi mengikuti instruksi dokter. Mengejan, menarik napas dalam-dalam lalu mengejan lagi. Setiap kali dokter mengatakan kepala bayinya sudah terlihat, Naomi selalu sudah kehabisam tenaga untuk mengejan.

Ia tidak tahu berapa lama di ruang bersalin. Rasa sakitnya tak tertahan sampai ia tak sanggup memikirkan hal lain. Ia menarik napas dalam-dalam lagi untuk mengejan, mendorong bayi yang masih terkurung di dalam perutnya. Ia merasakan sakit yang luar biasa, tulangnya terasa patah bersamaan dan ia pikir nyawanga hampir melayang. Suara-suara dokter yang memberinya komandi seperti samar-samar hilang. Wajah Arga dan mamanya yang menemaninya seperti buram. Di ujung napasnya, ia mendengar sesuatu menangis keras dan seketika mengembalikan kesadarannya yang hampir hilang. Tubuhnya yang tadi serasa patah seolah menyatu lagi.

Naomi terkapar di ranjang sementara ia lihat banyak orang mengerumuni bayi yang baru saja ia keluarkan. Bayi itu dibawa untuk dibersihkan, mamanya mengikutinya, Arga juga mengikutinya. Naomi ditinggal sendiri bersama dokter dan beberapa suster yang akan membantunya membersihkan diri.

“Sobeknya hanya sedikit, Bu, apakah mau dijahit atau enggak?”

“Di—”

“Nggak usah, Bu Dokter.” Tiba-tiba Arga masuk ruang bersalin lagi dan memotong kalimat Naomi. “Nggak usah dijahit.”

Naomi menangis melihat Arga kembali menemuinya. Ia kira Arga juga akan meninggalkannya, untuk melihat anaknya yang masih menangis. Lelaki itu menghampirinya dan mengecup keningnya, mengusap dahinya yang basah akan keringat dan berbisik,
“Makasih, sayang. Terima kasih sudah kuat.”

***

Full ebook dan next chapter udah terseda di KaryaKarsa ya ♥️😘

Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang