42. Program Bayi Perempuan

23.5K 2.1K 59
                                    


Happy reading 😘😘

Naomi nyengir tatkala Arga memandangnya setelah mengeluarkan dua mangkuk mie instan dari dalam lemari pendingin. Oh, ini akan menjadi pengalaman pertamanya makan mie instan dingin yang benar-benar dingin. “Nggak pa-pa dong buat pengalaman. Belum pernah kan, makan mie dingin?”

“Nggak usah dimakan,” ucap Arga dengan lesu. “Makan mie nggak sampai sepuluh menit.”

“Jadi nyalahin aku, nih? Padahal kamu lho yang ngajakin aku ke kamar sebelah. Jadi bukan salahku semua, kamu juga salah.”

Arga mengedik. Ia hanya menyesal karena mie buatannya beserta satu telur harus berakhir di tempat sampah. Padahal sangat jarang ia punya inisiatif masak mie yang ribet (masak mie pakai telur itu ribet baginya). Ia menghela napas setelah mencuci mangkuk dan meletakkan di tempatnya, sementara Naomi mengambil dua mie instan lagi sembari bersenandung kecil.

“Mau pakai telur lagi? Pakai sayur juga?”

“Terserah deh.”

“Cuma mie nggak bisa dimakan kamu ngambek lho, Ga. Kayak anak kecil.”

“Buatnya susah.”

Naomi menahan tawa mendengar sahutan itu. Ya Tuhan, mie instan adalah makanan yang cara masaknya paling mudah dan instan. Tidak seharusnya Arga mengatakan susah kalau tidak menambahkan irisan bawang, daun bawang, cabai, sayuran, sosis dan telur.

“Yang paling enak memang buat anak, sih,” cetus Naomi dengan nada santai, tetapi tidak santai di telinga Arga. Lelaki itu sampai melotot dan hampir tersedak ludahnya sendiri.

“Omong-omong, dulu kamu pingin anak sedikit, terus berubah lagi pingin anak banyak. Sekarang kamu mau anak berapa?”

“Sebelas.”

“Bagus, jadikan aku tempat produksi manusia bumi.”

Arga nyengir saja, soalnya sebetulnya ia tidak punya rencana mau punya anak berapa. Ia tidak punya anak juga tidak apa-apa—tetapi sekarang ia sudah beranak satu, Defandra. Namun, kalau saja bisa, ia ingin punya anak banyak tetapi tidak mau melihat Naomi kesusahan dengan hamil dan melahirkan. Melihat Naomi hamil dan melahirkan adalah tekanan paling besar selama ia hidup.

“Kamu nggak tanya aku mau punya anak berapa?”

“Banyak?”

“Kenapa?”

“Satu ke Mama Nad, satu ke mama kamu, yang lain buat kita.”

“Sinting.” Naomi terkekeh sendiri dibuatnya. “Kamu kira aku rela anakku dirawat orang lain? Enggak! Mau itu mertuaku sendiri, bahkan mamaku sendiri. Selama aku masih mampu merawat anakku, nggak akan kukasih ke orang lain.”

“Jadi sedikit?”

“Banyak, dititipin nggak pa-pa.”

“Sama saja.” Arga berdecak. Ia duduk di kursi dengan tangan terlipat di atas meja. “Kamu tadi nggak minum pil?”

“Oh, enggak. Kan lagi bukan masa subur.”

“Menstruasi kamu nggak teratur.”

“Tapi aku bisa hitung masa suburnya soalnya aku sudah tandai tanggal-tanggal aku menstruasi bulan sebelumnya.”

Arga mengerjap, ia meragukan Naomi dalam hal ini. Sebetulnya tidak masalah kalau Naomi hamil lagi, tetapi Defandra masih terlalu kecil untuk punya adik. Lagi pula, hamil lagi dengan anak masih sekecil Defandra pasti sulit sekali.

“Selamat makan.”

Mie dengan toping telur dan sawi hijau di depannya membuat Arga lupa dengan kondisi Naomi. Lagi pula, meskipun dia khawatir Naomi akan hamil lagi, ia tetap tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak mungkin mengeluarkan apa yang sudah ia masukkan ke dalam sana.

Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang