36. Defandra Rewel
Punya anak tidak sesenang bermain dengan anak yang manis dan menggemaskan setiap hari, badan wangi, bersih, rumah rapi dan makanan di sekitarmu melimpah. Tidak, kalau kau adalah manusia dengan harta berlimpah, mungkin kau bisa membayangkan hal semembahagiakan itu. Namun, untuk Naomi, ia tidak bisa. Ia harus bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan, memasukkan cucian baju ke mesin sementara Arga menemani Defandra di kamar. Selanjutnya, selama Arga bersiap-siap untuk kerja, ia memandikan Defandra dan kadang-kadang harus membiarkan Arga sarapan sendirian. Selepas Arga pergi, ia harus menemani Defandra sekaligus membersihkan rumahnya.
Sekarang jangan harap ada rumah yang rapi dan bersih setiap hari. Naomi bisa tampil wangi, sedikit berdandan dan menyambut Arga dengan pakaian layak pun sudah sangat untung buatnya. Ia tidak kuasa meminta bantuan Arga karena lelaki itu sudah membantunya menjaga Defandra saat malam hari. Untungnya Arga sama sekali tidak pernah protes dengan rumah yang berantakan, kotor dan dirinya yang lebih berantakan lagi.
Semua itu bukan bagian tersulit. Tidak masalah, Naomi harus membiasakan diri.
Ia baru menangis ketika anaknya menangis dan tidak mau minum ASI darinya. Tubuh bayi yang usianya baru satu bulan lebih sedikit itu berkeringat banyak. Ia tidak pup dan tidak pipis. Mungkin lapar, tetapi ia menolak ASI Naomi. Ketika itu terjadi, waktu sudah pukul tiga sore lebih. Dan ia belum menyiapkan makanan untuk Arga, belum juga mengangkat jemuran di belakang.
Naomi menimang Defandra dan berusaha mendiamkan bayi itu. Sayangnya, ia mulai kebingungan dan kelelahan, ia tidak tega melihat Defandra menangis tetapi ia bahkan tidak tahu masalah yang dialami bayi ini. Ia letakkan bayi itu ke atas kasur dan memutuskan menghubungi Arga.
Tiga kali panggilannya tidak terjawab. Naomi meletakkan lagi ponselnya dan kembali menimang Defandra. Ia sodorkan susunya, tetapi bayi itu hanya mencicip sedikit, lalu menolak dan menangis lagi.
Lima belas menit usahanya sia-sia. Naomi mulai mengusap matanya yang basah. Ia letakkan Defandra di boks bayi, lalu mengambil ponselnya lagi dan berusaha menghubungi Arga. Masih gagal, tidak biasa lelaki itu mengabaikan panggilannya. Ia hanya teringat Mama Nad dan Ayna. Belum sempat Naomi menghubungi salah satunya, seruan lelaki yang sejak tadi ia telepon terdengar.
"Kamu biarin Defan nangis, Mi? Kamu ngapain main HP?"
Menyakitkan. Suara Arga dingin dan seolah menusuk Naomi tepat di ulu hati.
"Dia nangis dari tadi. Dia nggak mau minum ASI."
"Kamu nggak periksa badannya panas?"
"Aku tau—"
"Harusnya dibawa ke rumah sakit. Bukan kamu biarkan kayak gini."
Gigi Naomi saling menyatu dan beradu. Ia menatap Arga yang mengangkat Defandra dengan mata yang terasa hangat. "Aku berusaha telepon kamu, Ga. Kamu nggak angkat sama sekali. Kamu ngapain saja dari tadi?"
Arga berhenti di depannya dengan wajah yang dingin dan kaku. Rahangnya mengeras dan matanya tajam menghujam Naomi. "Aku kerja. Kamu kira ngapain lagi? Kamu cuma bisa hubungi aku? Kamu nggak bisa hubungi mama? Nggak bisa cari taksi dan langsung ke rumah sakit?"
"Ga!"
"Terserah!"
Naomi tersentak dan tidak bisa lagi menahan air matanya mendengar suara Arga yang membentak. Ia menatap punggung lelaki itu yang membawa Defandra keluar kamar. Untungnya kesadaran Naomi berfungsi dengan baik. Ia buru-buru memasukkan kebutuhan pokok Defandra dan berlari menyusul Arga yang sudah di mobil, duduk di depan kemudi dengan Defandra di gendongannya. Mobil sudah dihidupkan.
"Jangan gila kamu, Ga!" Naomi berteriak dengan berani. Ia berusaha membuka pintu mobil yang terkunci. "Buka!"
Ia hampir terjengkang saat pintu terbuka tiba-tiba. Dengan payah, badan gemetar dan air mata yang belum berhenti, ia ambil alih Defandra. Arga langsung menekan gas dan mobil melaju dengan cepat. Naomi sesenggukan sembari memeluk Defandra yang masih tetap menangis.
"Pelan, Ga... kamu bawa Defan..."
Naomi tidak pernah menemukan Arga yang marah seperti ini. Bahkan bisa dibilang, ini kali pertama Arga berteriak padanya.
***
"Anak kecil panas, rewel, itu wajar. Sedang masa pertumbuhan."
Naomi berusaha menghentikan air matanya sediri, tetapi menjadi usaha yang sia-sia. Ia selalu berusaha merawat Defandra sebaik mungkin. Ia tidak pernah membiarkan Defandra menangis. Namun sikap Arga tadi seolah-olah mengatakan bahwa ia tidak mengurus Defandra.
"Sudah, jangan nangis."
Ia mengusap wajahnya yang sudah terasa perih dan memerah. Di sampingnya, Mama Nad mengusap kepalanya setelah berhasil menenangkan Defandra yang sempat menangis lagi sepulang dari rumah sakit tadi.
"Dia nggak mau minum ASI tadi, Ma," katanya sesenggukan. "Aku nggak ngerti dia maunya gimana. Sudah aku gendong, aku kasih mainan, semuanya nggak berhasil."
"Lain kali kalau bingung bisa telepon Mama. Jangan sungkan."
"Mama kan baru istirahat kemarin. Aku mau telepon temanku, belum sempat Arga sudah pulang."
"Dia marah, ya?" tanya Mama Nad dengan prihatin.
Naomi buru-buru menggeleng. Sekesal apa pun, dan sesakit hati apa pun ia pada sikap Arga kali ini, ia tetap tidak mau mama mertuanya tahu soal tadi. "Dia khawatir sama Defan. Dia capek, dari kemarin lembur terus kerjanya."
Mama Nad menggeleng dengan pembelaan itu. Ia telah mengenal putranya selama puluhan tahun dan ia bisa sedikit mengerti apa-apa saja yang bisa membuat anaknya marah sekali waktu.
"Kamu gendong Defan dulu, istirahat. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Nanti kalau mau mandi bilang, biar Mama yang jagain Defan. Sekarang Mama masak sebentar."
"Maaf ngerepotin mama terus."
"Mama ini mama kamu lho, Mi. Nggak ada orang tua yang repot sama anaknya."
Air mata Naomi kompak berjatuhan mendengar ungkapan penuh kasih itu. Ia menunduk dan menatap Defandra yang tertidur tenang. Napas bayi itu agak berat, suhu tubuhnya masih hangat. Namun dokter dan siapa pun orang yang sudah berpengalaman merawat bayi, meyakinkannya bahwa kondisi ini normal. Bayi yang sedang mengalami masa pertumbuhan akan sering rewel seperti ini.
Dari dalam kamar, Naomi bisa mendengar mamanya meminta Arga berhenti mengurus dapur. Ia akan memasak dan Arga bisa mengurus pekerjaan yang lain kalau mau. Kalau tidak mau, kata mama mertuanya, Arga bisa istirahat dulu karena sudah menjalani hari yang melelahkan di kantor. Naomi tahu mama mertuanya sedang menyindir Arga yang ketahuan marah dengan Naomi.
Hitungan menit kemudian, Arga sudah memasuki kamar mereka membawa sekeranjang pakaian bersih yang baru diangkat dari jemuran. Lelaki itu meletakkannya di pojok ruang, lalu dengan langkah pelan mendekati Naomi di atas ranjang.
"Mau mandi?" tanyanya, entah berbasa-basi entah serius.
"Nanti."
"Aku ambilkan makan—"
"Nggak usah." Naomi bahkan rela menahan perutnya yang sedang kelaparan daripada harus minta bantuan Arga. Ia tidak sempat makan karena Defandra sangat rewel, dan sungguh, ia tidak bisa lupa pada Arga yang menuduhnya tidak mengurus Defandra dengan baik.
"Naomi." Arga memberanikan diri duduk di tepian ranjang, berusaha menyentuh wajah Naomi yang kelihatan jelas berantakan, tetapi wanita itu memalingkannya. "Maaf."
Naomi mengerjap-ngerjap untuk menghalau air matanya yang hampir keluar lagi. Sayangnya tidak bisa. Ia tetap menangis.
***
Ingat hooman, cerita ini sudah ada versi lengkapnya. Bisa ke KaryaKarsa atau WhatsApp ya^^
Nexttt???
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini
RomanceSaudari Naomi Priska Sastraperwira, maukah kamu melihat saya setiap bangun tidur? Lalu ketika pulang kerja, eh ada saya lagi, saat makan malam, saya muncul lagi. Begitu mau tidur, ternyata saya lagi yang disamping kamu. Ketika kamu lagi PMS dan ngga...