31. Nama Anak
Arga memandang Naomi yang berjalan menuju ruang tamu dengan takjub. Bukan lagi sepekan, tetapi telah satu tahun berlalu ia hidup dengan wanita yang cerewetnya minta ampun. Kadang-kadang perempuan itu ngomel karena masalah sepele sekadar pisaunya menghilang mendadak dan pelakunya adalah Arga. Di lain waktu, Naomi ngomel karena Arga betul-betul lupa menaruh kaus kaki saat pulang kerja, atau lupa mengeringkan rambut di kamar mandi sehingga lantai kamar menjadi licin dan basah. Beberapa kali, Naomi ngomel karena Arga tidak mengajaknya bicara dan ia bilang akan mati kebosanan karena diam saja di rumah yang kecil itu.
Kini, Arga melihat Naomi dengan perut yang besar dan tubuh berisi. Pipinya, demi Tuhan, Naomi pernah menangis karena pipinya lebih pantas disebut bakpao yang empuk dan besar. Lengannya, pinggulnya, pahanya, betul-betul bukan seperti milik Naomi yang dulu langsing, ramping dan kencang. Meski begitu Naomi tidak bisa juga berhenti memakan roti, buah, cake, dessert box, es boba, ayam dari merek terkenal, donat dari berbagai merek terkenal pula, dan lebih banyak lagi.
Naomi, meski dua menit lalu mengeluh badannya terasa berat, akan tetap menenteng stoples berisi roti kacang dan menghampiri Arga yang duduk di ruang tamu selepas memandikan Keke dan Koko di pagi hari.
"Kamu mau sarapan apa hari ini? Beli saja ya, Ga. Nggak ada apa-apa di rumah, kecuali kamu mau camilan kayak aku gini."
Naomi duduk di samping Arga dengan suara agak mendesis pelan. Dengan tangan kanannya yang tidak memegang apa pun, ia usap perutnya yang memilik tonjolan dan sedang bergerak lincah. Itu bukti bahwa anak di dalam perutnya aktif sekali. Kadang kala membuatnya sulit tidur juga.
"Buat susu saja sama roti. Kamu sudah minum susu?"
"Belum, nih. Masih males. Agak siang saja deh."
"Aku buatkan sekarang."
"Nanti saja... Lagi malas minumnya."
Arga tentu menuruti apa keinginan Naomi. Ia turut mengambil roti kacang di stoples dan mengunyahnya sebagaimana Naomi lakukan itu.
"Masih sering?" tanyanya dengan bibir meringis ketika Naomi mengernyit dengan gerakan kuat di perutnya.
"Tambah sering. Makin lama makin aktif, ya. Nggak membayangkan nanti kalau lahir dia bakalan jadi anak yang sependiam kamu atau sebawel aku."
Bagi Arga, tidak masalah apakah akan sependiam dirinya atau seaktif Naomi.
"Anin sudah rewel setiap hari nanyain dedeknya sudah lahir belum, tau."
Arga tersenyum kecil. Si anak kembar itu memang semakin aktif menelepon, bertanya soal anak bayi yang akan keluar dari perut Onti Nomi-nya, yang kebanyakan pertanyaan selalu diulang-ulang. Arga senang karena begitu banyak orang menantikan kelahiran bayinya dengan Naomi. Si jagoan lelaki yang sedang tumbuh terus di perut Naomi itu entah kenapa seolah menyatukan banyak orang di sekitarnya.
Teman Naomi, Gia dan Ayna, rutin sekali menanyakan kabar kesehatan Naomi. Pun, anaknya Ayna si kembar, juga beberapa kawannya di tempat kerja yang kadang-kadang menyelipkan informasi mengenai tumbuh kembang anak di tengah obrolan mereka. Arga tidak bisa tidak tersenyum ketika rekan kerjanya membagikan soal anak mereka yang sedang bertumbuh aktif, soal hobinya, soal kegiatannya di sekolah, guru-gurunya, dan banyak hal lain lagi.
"Kamu sudah pikirkan namanya belum, Ga? Bentar lagi HPL lho ini."
"Belum," sahutnya jujur. "Masih dipikir."
"Berarti paling enggak sudah ada ide dong namanya siapa."
"Rahasia," balasnya dengan senyuman lebar. Naomi mendengus.
"Peter saja please."
"No Peter, no Rivian, Revian, Rhodes dan Rouvin." Arga menyebutkan semua nama usulan Naomi yang entah kenapa banyak berawalan huruf 'r'. Ia sampai bertanya-tanya dan belum dapat jawaban kenapa Naomi ingin nama anaknya berawala huruf 'r'.
"Berarti bisa Damaresh atay Sandhy."
"No Sandhy," kata Arga tegas. "Susah ditulis, kecuali S A N D I, bukan S A N D H Y."
"Toh cuma nulis nama."
"Nama yang simpel lebih baik. Anak nggak kesulitan."
Di saat seperti ini, Naomi betul-betul heran bagaimana Arga bisa sangat panjang berbicara. Menyatakan argumen-argumen yang masuk akal tetapi tidak bisa Naomi terima.
"Oke, Damaresh."
"Tanpa huruf 'h' di belakangnya."
"Kamu kenapa sih, kayak musuhan banget sama huruf 'h'? Memang dia ada salah sama kamu?"
"Ada atau nggak ada huruf 'h' dibacanya sama-sama damares. Lebih mudah ditulis tanpa 'h' di belakangnya."
"Nanti aku ajari anak kita nulis namanya yang banyak 'h', 's' dan 'y' sejak kecil. Dia nggak akan kesulitan nulis nama pas sekolah."
Sayangnya Arga kukuh menggeleng. Pokoknya lelaki itu tidak mau nama yang ribet dan berbelit. Ia mau nama yang simpel, tetap bermakna dan mengandung doa.
"Oke, terserah kamu!" Naomi melotot dan berdiri sambil merangkul stoples roti kacangnya. "Itu kan anak juga anak kamu, kasih saja nama kamu sendiri."
Arga agak menyesal sudah menentang Naomi sehingga wanita itu akan merajuk seharian penuh. Namun, ia akan menolak nama yang ribet dan ditambah huruf yang agak tidak berguna untuk orang Indonesia. Ck, ya, tetapi Naomi terobsesi memberikan anak mereka nama yang ribet seperti itu. Katanya modern, keren dan kedengaran bagus. Padahal kalau seandainya anak mereka perempuan, Arga sudah bertekad mencantumkan nama belakang Naomi di nama anak mereka: Sastraperwira.
Sastraperwira. Ya, nama itu yang sempat membiusnya ketika mengetahuinya pertama kali. Sastra, ialah perempuan yang berilmu pengetahuan, dan Perwira, ialah pemberani. Perempuan yang pemberani. Naomi sekali. Kapan ia pernah melihat Naomi ketakutan? Wanita itu selalu berani menghadapi apa pun, mandiri dan agak sungkan merepotkan orang lain—kecuali merepotkan Arga.
"Jamurin bajunya, Ga. Aku mau masak saja deh. Nggak usah beli."
Arga buru-buru bangkit dan mengeluarkan semua baju yang sudah dicuci dari mesin cuci.
"Baju putihnya jangan lupa diucek, sudah aku rendam di ember kan."
"Iya."
"Eh, sebentar."
Kemudian Arga batal mengangkat ember berisi baju siap jemur itu ketika Naomi menggerutu karena pisau yang ia pegang jatuh ke bawah meja.
"Bisa minta tolong ambilkan pisaunya?"
Tentu bisa. Ia bergerak gesit dan memberikan pisau itu ke tangan Naomi. Istrinya menggumamkan terima kasih, tetapi tak lantas menghadiahinya satu kecupan manis di pipi atau bibir sebagaimana biasanya. Ah ya, hanya karena Naomi mengajaknya bicara, minta tolong ini itu, bukan berarti Naomi lupa bahwa Arga menolak semua usulan nama darinya.
"Hush, sana jemur baju."
"Satu—"
"No no no, setengah pun nggak bisa. Minggir."
Arga mengedik dan berlalu untuk melakukan tugasnya yang rutin ia kerjakan setiap pagi. Terlebih, sejak Naomi mulai kesulitan membungkuk, ia tidak pernah biarkan wanita itu menjemur baju sendiri.
Apa lagi? Banyak. Kadang-kadang memakai sepatu, memotong kuku kaki, memijat kaki yang membengkak, dan sekadar mengambil barang yang jatuh seperti tadi. Naomi bukan tidak bisa, tetapi Arga yang tidak tega melihatnya harus merunduk, berjongkok hingga ndeprok karena perut yang besar sulit diajak kompromi.
Authornya lagi jadi demit, suka muncul dan hilang gak pake kabar ya. Udah kayak gebetan aja ckckkc
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini
RomanceSaudari Naomi Priska Sastraperwira, maukah kamu melihat saya setiap bangun tidur? Lalu ketika pulang kerja, eh ada saya lagi, saat makan malam, saya muncul lagi. Begitu mau tidur, ternyata saya lagi yang disamping kamu. Ketika kamu lagi PMS dan ngga...