28. Morning Sickness Papa

24.5K 2.5K 44
                                    

28. Morning Sickness Papa

Samar-samar Arga mendengar bisikan Naomi yang menenangkan. Ia terhanyut di mimpinya yang membahagiakan dan selalu suka dengan suara Naomi. Ia tersenyum kecil menyambut panggilan wanita itu.

“Sayang.”

Apakah Naomi juga suka kalau ia panggil dengan panggilan seperti itu? Barangkali ya dan barangkali tidak. Mungkin Arga perlu bertanya langsung—dengan catatan kalau ia cukup punya keberanian untun bertanya.

“Sayang...”

Suaranya mendayu, dan Arga merasa semakin suka dengan Naomi. Untuk beberapa lama ia biarkan Naomi memanggilnya seperti itu dan ia tetap diam di tempat.

“Arga mau bangun enggak, sih? Mau sarapan enggak? Aku tinggal sarapan nih kalau lama. Aku sudah lapar.”

Ia agak tersentak dan langsung membuka mata. Naomi dan anak lelakinya yang duduk di hadapannya dan memanggilnya lenyap, berganti dengan Naomi yang membuka gorden jendela sampai-sampai cahaya matahari menyusup masuk dan menimpa wajah Arga. Ia mengernyit.

“Anak kita mana, sayang?”

“Hah?”

Sementara Arga masih terlihat kesusahan menyesuaikan matanya dengan cahaya yang diterima, Naomi melongo di tempat.

“Mimpi, ya?” gumamnya dengan lucu, “Anak kamu masih di perut nih. Belum juga sembilan bulan.”

Arga yang belum sepenuhnya sadar terdiam. Ia duduk, lalu turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Ketika kembali ke kamar, Naomi sudah tidak ada. Ia menuju dapur dan wanita itu sedang duduk di kursi meja makan menghadap sepiring nasi dan sambal hati ampela serta terong.

“Mau dibuatin kopi? Atau mau minum yang lain?” tanya Naomi.

“Nggak usah,” sahutnya sembari menuang air putih di gelas dan menenggaknya sampai tandas. Ia duduk di dekat Naomi dan memandang wanita itu dari samping.

“Cepetan ambil, Ga. Aku udah lapar banget lho...”

“Makan.” Ia menyahut pelan. “Nggak usah tunggu aku kalau lapar, langsung makan.”

“Kan mau sarapan berdua.”

Arga meraih piring yang disediakan Naomi dan mengambil sedikit nasi, lalu menambahkan dengan hati ayam—karena ia tidak suka ampela—dan sambal terong yang ditambah rasa cingur. Sambal yang khas di rumah Naomi ketika ia berkunjung pertama kali dulu. Ia bersiap makan ketika merasa lambungnya teraduk-aduk dan isi perutnya terasa naik ke tenggorokan. Sesaat kemudian Arga melesat ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya.

Hoek!

“Ga! Ga?! Kok muntah?”

Arga juga tidak tahu kenapa ia muntah. Ia terus mengeluarkan isi perutnya sampai merasa cukup. Lalu, ia membasuh wajahnya dengan air dan mendapati Naomi yang khawatir di depan pintu kamar mandi. Arga menggeleng.

“Nggak pa-pa,” katanya tetapi dengan suara dan tubuh yang lemas.

“Muntah karena makanannya atau bukan?”

Arga menggeleng yakin. “Bukan.” Ia suka masakan Naomi dan tidak pernah bermasalah dengan itu.

“Periksa ke dokter yuk. Kamu meriang deh kayaknya. Pucat gitu.”

“Cuma muntah.” Arga menolak dengan halus. Sebetulnya ia agak tidak suka berobat ke dokter.

“Tapi aku khawatir.”

“Nggak pa-pa.” Ia mendorong Naomi kembali ke meja makan. “Makan.”

Naomi baru tenang setelah Arga tidak pucat lagi dan kelihatan lebih sehat daripada pagi tadi. Namun, keesokan paginya Arga kembali muntah sebanyak dua kali. Lalu pagi berikutnya Arga muntah tiga kali. Lelaki itu mengaku mual tanpa sebab yang jelas. Naomi segera tersenyum kecil, mengusap perutnya dan kepala Arga yang menempel di pinggangnya sembari bergumam,

Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang