Naomi dikejutkan dengan perutnya yang mual di pagi hari. Kepalanya agak berdenyut setelah ia mengeluarkan isi perut. Sepertinya nggak ada makanan asing yang masuk ke perutnya. Lagi pula ia belum pernah sakit lalu mual seperti ini.
Setelah mengusap wajahnya dengan air, ia memutuskan kembali ke kamar. Tubuhnya agak sempoyongan dan lemas. Arga masih lelap di ranjang. Agaknya lelaki itu lembur sampai hampir pagi demi liburan yang nyaman.
Omong-omong, ini weekend ke-16 yang dilalui Naomi dengan Arga. Artinya ia menikah telah hampir 4 bulan lamanya.
Menyadari Arga betulan lelap, Naomi memutuskan untuk kembali ke ranjang. Ia meringkuk di depan Arga yang tertidur miring ke kanan. Lelaki itu nggak terganggu sedikit pun, bahkan mungkin nggak sadar saat Naomi bangun tiba-tiba tadi. Bukannya merasa tenang, Naomi justru merasa mual lagi. Ia menutup mulutnya demi menahan gejolak nggak enak di perutnya. Ya Tuhan, Arga punya aroma yang aneh sekali. Bikin Naomi pening dan eneg bersamaan.
Akhirnya Naomi menyerah menahan diri. Ia turun dari ranjang dan kembali ke kamar mandi untuk muntah. Sayangnya hanya air yang keluar. Mungkin makanannya sudah habis keluar tadi.
"Naomi."
Naomi mengernyit saat Arga tiba-tiba muncul di belakangnya. Ia tahu lelaki itu berniat baik dengan memijat tengkuk Naomi, tetapi ia justru kembali diserang gejolak mual yang menyebalkan.
"Kenapa? Sakit?"
Naomi menggeleng meski ragu ia sehat. Merasa nggak tahan dengan keberadaan Arga yang terlalu dekat dengannya, ia terpaksa mengeluarkan tenaga untuk mendorong lelaki itu sampai terantuk tembok. Ugh... Arga kelihatan kaget dan khawatir, tetapi lebih banyak bertanya-tanya kenapa.
"Kamu keluar aja, Ga."
"Kenapa?"
"Nggak pa-pa. Kamu keluar aja."
"Aku salah ya, Mi?"
Naomi memutar bola mata. Ya Tuhan, ia senang punya suami yang mau mengakui kesalahan dan—meski nggak peka—selalu tanya apakah ia salah saat Naomi bersikap buruk begini.
"Salahku apa?"
"Nggak adaaa. Nggak salah apa-apa. Tapi kamu bisa keluar sekarang."
"Kenapa?"
Naomi mendesah lagi. "Nggak kenapa-kenapa, Ga. Keluar aja."
"Kamu marah aku kerja?"
Ya Tuhan... "Enggak, Ga. Keluar aja."
"Terus kenapa? Aku salah bilang aja. Aku minta maaf."
"Nggak ada Arga. Kamu nggak salah. Tapi aku jengkel sama kamu!" Naomi mendengus lagi lebih keras. "Tau nggak sih, bau badan kamu bikin aku mual."
Lelaki itu tampaknya semakin bingung dan agak terpukul dengan pengakuan Naomi. Ia mengendus tubuhnya sendiri, aromanya normal meski nggak wangi. Maksud Arga, ia nggak bau badan.
"Naomi."
Naomi menutup hidung dan mulutnya saat berbalik badan menatap Arga. Matanya agak nyalang sekaligus kasihan dan penuh permintaan maaf. Ia menggeleng pelan, takut kalimatnya barusan menyinggung Arga. Entah penciumannya yang sensitif atau memang Arga beraroma buruk hari ini, ia betul-betul nggak suka.
"Beliin aku test pack," katanya setelah menghela napas berkali-kali. "Kayaknya aku hamil." Ia mendesah lagi, terasa berat. "Kalau hamil itu jadi sensitif. Yang nggak bau pun bisa jadi bau. Beberapa ibu hamil benci sama suaminya. Bukannya benci beneran, tapi itu bawaan hamil. Ada juga yang nggak suka aroma nasi, aroma dapur, bawang putih bawang merah, dan nggak suka aroma suaminya."
Arga nggak menyahut, ekspresinya agak mengendur tanda ia mengerti meski hanya sedikit.
"Aku mual deket kamu."
Kini, Arga berjalan perlahan menjauhi Naomi. Ia tiba di pintu kamar mandi, dan melihat Naomi yang masih menutup mulut rasanya aneh sekali. Dahinya agak berkerut, kemudian,
"Katanya kalau benci sama suami, anaknya mirip ayahnya." Ia masih mengerutkan dahi, dan berkata lagi, "Katanya mau anaknya mirip kamu."
Terang saja Naomi berdecak. "Aku cuma bisa minta, Ga. Kalau anakku nanti mirip bapaknya ya udah, mau diapain lagi. Mau mirip aku apa mirip bapaknya terserah juga sih, yang penting nggak mirip tetangga aja."
"Oh."
"Kamu bisa nggak jangan ngeselin dulu?"
Arga merapatkan bibir. Ia kemudian pergi untuk membeli test pack. Jantungnya berdegub sedikit lebih kencang. Ia harap-harap cemas juga. Beberapa waktu lamanya Naomi memang nggak melakukan test pack. Wanita itu agaknya kecewa setelah test yang kesekian kali hasilnya masih saja negatif. Siapa sangka, kini ia mendapati istrinya muntah di pagi hari dan membencinya—yang setaunya nggak melakukan kesalahan apa-apa.
Ah, soal kesalahan juga. Arga mendesah pelan. Sesuatu hal yang menurutnya normal kadang kala untuk Naomi sangat salah. Bahkan terhitung fatal. Arga jadi was-was setiap kali Naomi mendiamkannya, atau pergi nggak pamit ke rumah orang tuanya. Jangan-jangan ia melakukan kesalahan tanpa sadar.
Tiba di apotek, ia memesan test pack dengan sensitifitas yang baik. Arga membayarnya, tetapi ia masih berdiri di depan etalase obat-obatan.
"Mbak," katanya agak ragu. "Obat mual untuk ibu hamil?" tanyanya, ragu lagi.
"Ibu hamil nggak bisa sembarang konsumsi obat, Pak. Lebih baik dibawa periksa ke dokter, nanti dokter yang akan memberikan resep kalau memang butuh obat. Mual itu normal kok, Pak."
Arga manggut-manggut. Namun ia masih belum pergi juga. Ada hal lain, yang ingin ia tanyakan, tetapi ia ragu apoteker itu mengerti solusinya. Namun ia juga bingung ke mana ia harus tanya selain kepada orang yang mengerti.
Setelah memikirkan beberapa waktu, ia memutuskan bertanya.
"Istri saya nggak suka saya," katanya agak kikuk. "Aroma saya. Dia mual."
Apoteker itu tersenyum, sangat memaklumi kebingungan Arga.
"Coba beli parfum yang cocok di hidung istri, Pak."
"Biasanya dia suka parfum saya."
"Kalau hamil penciumannya jadi agak sensitif. Parfum yang dulunya dia suka bisa jadi nggak suka."
"Oh." Arga mengerti sekarang. Ia berterima kasih dan pergi meninggalkan apotek. Baru tiba di rumah, ia melihat Naomi berbaring di kasur dengan mata terpejam. Wanita itu menghirup minyak kayu putih sambil mengusap hidungnya yang sudah memerah.
"Letakin di situ aja, Ga. Nanti aku coba test. Kamu kalau mau sarapan beli aja ya. Aku masaknya agak siangan."
Arga menurut. Ia meletakkan test pack di meja, lantas berdiri bingung di ambang pintu.
"Naomi."
"Hm..."
"Mau periksa ke dokter?"
"Nanti ya, habis test pack. Kalau positif periksa."
Arga mengangguk.
"Mau aku pakai parfum, Nomi?"
"Ha? Gimana?"
Arga nggak mengulang pertanyaannya. Ia diam, menunggu Naomi sadar.
"Coba pake, tapi di luar kamar pakenya."
Kan, Naomi memang mendengar pertanyaannya. Arga segera mengambil parfumnya, lalu keluar kamar dan menyemprot di bajunya. Beberapa detik menunggu, akhirnya ia tahu respon Naomi. Wanita itu menutup hidung sembari mengernyit dalam.
"Nggak enak banget..."
Arga memilih menuju dapur agar Naomi terhindar dari aroma parfumnya. Ia mencium aromanya sendiri, normal dan wangi seperti biasa. Lalu ia menghirup aroma ketiaknya, masih normal seperti biasa. Atau ini karena ia belum mandi?
Sepertinya bukan. Ini karena Naomi kemungkinan besar sedang hamil. Dan hamilnya membuat wanita itu enggan dekat-dekat Arga.
Arga duduk di kursi, terpekur. Ia bayangkan bagaimana nasibnya tanpa dekat dengan Naomi. Bagaimana tidurnya kalau Naomi nggak bisa tidur dengannya. Bagaimana ia kalau nggak makan masakan Naomi. Dan bagaimana Arga menahan kangennya dengan Naomi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini
RomansaSaudari Naomi Priska Sastraperwira, maukah kamu melihat saya setiap bangun tidur? Lalu ketika pulang kerja, eh ada saya lagi, saat makan malam, saya muncul lagi. Begitu mau tidur, ternyata saya lagi yang disamping kamu. Ketika kamu lagi PMS dan ngga...