34. Defandra Ega Sebasta
Naomi belum pernah sebahagia ini setelah menahan sakit lebih dari sepuluh jam. Ia belum pernah merasa sangat berharga karena menjadi alasan orang-orang terdekatnya berkumpul di satu ruangan sempit. Setelah berbulan-bulan menunggu kelahiran bayinya yang laki-laki, wajah-wajah yang ia lihat kali ini betul-betul kelihatan lega dan bahagia. Satu persatu bergiliran menengok bayinya di boks, lalu menggendongnya, mengusap pipinya yang gembul dan memuji betapa bayi itu imut.
“Pegang dedek, Mama! Pegang dedek!”
Dan si kecil kembar itu selalu tidak bisa diam. Anindhya meronta ingin menyentuhkan tangannya yang mungil pada kulit bayinya yang masih merah.
“Jangan lama-lama pegangnya. Belum boleh.”
“Besok boleh?”
“Boleh.”
“Besok main lagi sama dedek.”
Naomi sedikit tertawa mendengar keputusan yang agaknya mutlak itu keluar dari bibir Anindhya. Ia memperhatikan mama si kembar yang geleng-geleng kepala dengan tingkah anak perempuannya, yang berbeda jauh dengan sifat anak lelakinya di gendongan papanya.
“Tutorial ngidam biar anaknya manis kayak gitu dong, Mimi. Gemes banget, tauuu!”
Bahkan, Gia yang biasa selalu berisik hari ini seolah terpaku pada bayinya. Sejak tadi calon pengantin itu memandangi bayi itu dengan takjub. Matanya sering kali melirik Ken lalu bayi itu berkali-kali.
“Bapaknya harus ganteng, sih.”
“Dih, calon laki gue udah ganteng banget nih di mata gue.”
“Proses buatnya harus tepat.”
Gia dan Ayna kompak melotot. Naomi nyengir, menatap penuh minta maaf. Anindhya dan Abinanda yang punya rasa penasaran setinggi Gunung Everest tentu tidak boleh mendengar hal-hal aneh semacam itu, atau pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya dipahami orang dewasa akan muncul.
“Mama buat adek kayak Onti Nomi!”
Kan... Naomi meringis mendengar itu. Semua orang dewasa kompak diam, menahan tawa dan menunggu jawaban dari si mama yang kikuk.
“Mama...!”
“Suruh buatin papa.” Ayna melirik si papa yang langsung menghela napas pelan. “Sana, sama papa. Mama mau bantuin Onti urus adek.”
“Papa nggak bisa buat, Mama...”
“Bisa.”
“Onti Nomi bisa Om Aga nggak bisa. Papa juga nggak bisa, tapi Mama bisa.”
Untunglah, si bayi yang masih dikagumi itu mendadak menangis. Ayna buru-buru menyerahkan Anindhya pada papanya sehingga lelaki yang selalu pendiam ketika berkumpul itu harus menggendong dua anak kembarnya keluar ruangan; membikin dedek seperti keinginan putrinya yang luar biasa cengeng dan bawel dan kadang menyebalkan.
Ayna mengangkat bayi Naomi ke dalam gendongannya, lalu dengan hati-hati meletakkannya di dada Naomi agar ibu baru itu bisa menyusuinya. Tanpa diminta, Ken dan Arga keluar ruangan, sehingga hanya tersisa tiga perempuan yang diam menyaksikan bayi belum bernama itu menyusu dengan rakus.
“Belum dikasih nama ya, Mi?”
“Belum.” Naomi mengusap kepala bayinya dengan sayang. “Arga masih mikir nggak tau mikir apa. Katanya sudah dapat tapi masih ragu.”
“Kaget gue lihat Arga, Mi,” celetuk Gia.
“Kenapa?” tanya Naomi heran.“Bisa juga dia ngomong banyak. Gue kira nggak bisa. Eh taunya tadi ngomong banyak gitu, senyum pula, kelihatan ramah banget.”
Tidak bisa Naomi pungkiri, Arga berubah terlalu signifikan selama ini. Lelaki itu memang menjadi lebih banyak bicara, lebih ekspresif, bisa bercanda dan kadang menggoda meski malu-malu. Apa lagi saat Naomi melahirkan. Naomi tidak akan lupa momen Arga menciumnya setelah memanggilnya dengan sebutan “sayang” yang romantis sekali.
“Beda banget ya sama pertama nikah dulu. Dulu tuh, kalau nggak ditanya nggak tanya. Diam saja kayak patung. Enggak senyum kalau nggak disenyumin dulu.” Ayna turut berkomentar.
“Ya maklum, di rumahnya dulu cuma ada mamanya yang cerewet. Mamanya juga sudah biasa sama papanya yang pendiam gitu. Sama aku kan dia harus banyak omong, soalnya aku nggak betah kalau dia cuma diam terus.”
“Senang kan, menikah sama orang yang sayang banget sama kita?” tanya Ayna dengan senyuman yang tulus. Naomi menyetujui itu dengan mengangguk jujur.
“Makanya menurutku benar banget orang yang bilang menikah sama orang yang sangat mencintai kita, jangan sama orang yang sangat kita cintai tapi dia hanya sekadar cinta sama kita.”
“Ken cinta gue nggak, sih?”
“Kayaknya cinta. Kalau nggak cinta, mungkin dia nggak mau kali ribet sama cewek kayak kamu, Gi.”
“Kadang gue tiba-tiba ragu mau nikah sama dia.”
“Maklum lah, ujian orang mau menikah memang ragu begitu.” Ayna nyengir lebar. “Kecuali aku, nggak ada kesempatan buat yakin.”
“Pak Bara mah daebak. Nikahin anak orang caranya ekstrem banget.”
Naomi terkekeh mendengar dua sahabatnya bercakap-cakap. Ia jadi teringat dengan keterlibatannya pada rencana bejat tetangganya yang mengorbankan sahabatnya. Kalau ia pikir lagi, ia sungguh jahat karena melakukan itu. Padahal menikah bukan hal main-main, tetapi dengan mudah ia mendukung Ayna menikah dengan orang yang tidak dikenal gadis itu.
“Kenapa lo dulu mau bantuin Pak Bara, Mi?” tanya Gia tiba-tiba, mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali sejak rencana itu ketahuan.
“Iseng. Kirain nggak bakal mau, ternyata mau.” Naomi meminta tolong bantuan Ayna setelah memastikan bayinya tidur nyenyak lagi. “Sebenarnya aku nggak yakin banget, sih. Kayak mau bilang Ayna biar batalin saja gitu. Walaupun aku yakin Mas Bara bakalan jadi suami yang baik dan bertanggung jawab, tapi tetap nggak yakin saja kalau mau biarin Ayna nikah gitu saja. Tapi tahu nggak, Pak Bara bilang apa?”
“Apa?” tanya Gia lebih penasaran daripada Ayna sendiri.
“Jangan, Mi. Saya mau nikah sama dia betulan. Kamu doakan saja saya berhasil berumah tangga sama dia, kalau nggak berhasil saya janji menjamin kehidupan dia setelah itu. Saya nggak bakalan bikin hidupnya hancur berantakan karena gagal menikah sama saya.”
“Wow!” Gia berseru keras tanpa sengaja bikin Naomi dan Ayna melotot.
“Jangan berisik, Gia. Ada bayi, gampang bangun,” tegur Ayna yang dibalas Gia dengan cengiran.
“Sorry... Tapi gue kaget dengarnya.”
Sayangnya pembicaraan yang menyenangkan itu harus terhenti karena para lelaki berbondong-bondong masuk kamar. Bara menyerahkan putra-putrinya ke Ayna dan Gia, lalu ia duduk di sofa menghadap meja yang tak seberapa lebar. Ken membunyikan engsel-engsel di tangannya seolah sedang bersiap melakukan sesuatu yang melelahkan. Arga mengambil seperangkat alat tulis, kertas ukuran A3 dan spidol.
“Mau pada ngapain?” tanya Ayna mewakili keheranan sahabat-sahabatnya.
“Mau ngukir nama,” kata Ken dengan cengiran lebar. “Arga diam saja, nggak usah ikut rusuh.”
“Sudah dapat namanya?” tanya Naomi penasaran. “Siapa?”
“Defandra.” Arga menjawab kalem sembari duduk di samping ranjang Naomi.
“Cuma Defandra?”
Arga menggeleng. Ia butuh beberapa detik untuk menjawab dengan lugas dan tenang, “Defandra Ega Sebasta.”
“Artinya?”
“Defandra artinya kuat dan semangat, Ega artinya hebat, Sebasta artinya laut.”
Tentu arti-arti sulit untuk disatukan. Namun, Naomi suka itu. Ia suka makna yang terkandung di dalamnya. Ia juga suka antusias sahabat-sahabatnya dalam menulis nama di kertas A3 meski hasilnya jauh dari ekspektasi. Ia hanya menunggu bersama Arga sementara keenam manusia itu ribut dengan style tulisannya.
Bahkan, Anindhya dan Abinanda pun ribut ingin mewarnai tulisan yang dibuat papanya.
Cerita lengkapnya tersedia di KaryaKarsa 😚😚

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini
RomantikSaudari Naomi Priska Sastraperwira, maukah kamu melihat saya setiap bangun tidur? Lalu ketika pulang kerja, eh ada saya lagi, saat makan malam, saya muncul lagi. Begitu mau tidur, ternyata saya lagi yang disamping kamu. Ketika kamu lagi PMS dan ngga...