39. Ketakutan
Dengan payah karena tubuhnya menahan beban berat, Naomi berhasil meraih ponselnya di nakas yang bergetar-getar. Mama mertuanya memanggil, ia segera menggeser tombol hijau ke atas sehingga panggilan terhubung.
"Ya, Ma?"
"Defan masih rewel, Mi?"
"Enggak kok. Ini masih tidur, cuma bangun minum susu tadi."
"Oh, bagus deh. Mama nggak ke sana dulu ya, soalnya papa nggak enak badan."
"Iya, Ma. Nggak pa-pa kok. Mama istirahat saja dulu, dari kemarin sudah capek di sini."
"Ya sudah deh. Kalau ada apa-apa jangan sungkan panggil mama, ya."
"Iya."
Setelah panggilan ditutup, ia meletakkan kembali ponselnya ke nakas. Tubuhnya terasa sesak karena badan Arga yang kurus itu menimpa perutnya. Bukan sesuatu yang romantis, sama sekali tidak. Arga menjadikan perutnya yang buncit sebagai bantalan sementara di sebelah lelaki itu, Defandra tertidur nyenyak sekali.
Naomi mencoba menggerakkan badannya tanpa membangunkan Arga, tetapi lelaki itu berakhir membuka mata. Mereka sudah tidur selama hampir tiga jam sejak pulang dari jalan-jalan tadi. Mama mertuanya langsung pamit pulang karena papa mertuanya mengaku tidak enak badan begitu mereka tiba di rumah, lalu entah siapa yang memulai, mereka bertiga menghabiskan waktu di kamar dan tertdidur tanpa rencana.
"Jangan kena Defan," bisik Naomi ketika Arga hampir berguling ke kiri. Lelaki itu berakhir duduk dan turun dari kasur, lalu tanpa diduga Naomi, pindah ke sebelah kiri Naomi. Tangannya melingkari pinggang Naomi yang tidak ramping, hidungnya menghirup aroma tubuh Naomi. Aroma bayi dan aroma minyak wangi yang berpadu menjadi satu.
"Aku mau masak, kamu di sini tungguin Defan."
"Beli, nggak usah masak."
"Enggak, ah. Mau masak, mau bikin jus buah, mau bikin sambal goreng."
Arga merespon dengan menekan kepalanya ke ceruk leher Naomi. Tak lama ia membuka mata dan melepaskan Naomi dari tubuhnya. Wanita itu turun dari kasur dengan hati-hati, menuju kamar mandi untuk cuci muka dan kembali ke kamar beberapa menit kemudian.
"Aku bantu," gumam Arga dengan tidak begitu yakin. Ia masih saja payah dalam hal dapur. Namun, kalau Naomi memintanya mengupas bawang, memotong cabai, wortel, kol atau timun, ia yakin bisa.
Naomi yang masih menyisir rambut melirik Arga dan lelaki itu sudah bersiap menuju kamar mandi. Jalannya sempoyongan, matanya sayu dan rambut yang panjangnya sudah melewati leher acak-acakan. Naomi janji nanti ia akan memaksa Arga ke salon dan memotong rambut itu. Ia bukan tidak suka dan hampir tidak masalah dengan rambut Arga yang panjang, tetapi ia tidak mau dikira menikah dengan berondong karena rambut Arga yang panjang membuat lelaki itu terkesan seperti remaja yang suka trend rambut panjang.
"Tidur lagi nggak pa-pa lho, Ga." Naomi mengingatkan lelaki itu dengan senang hati. "Nanti waktunya makan aku bangunin."
Arga menggeleng dan melanjutkan langkah ke kamar mandi. Kurang dari satu menit, karena Arga hanya mencuci muka—atau sekadar membuat mukanya basah—lelaki itu sudah berdiri di belakang Naomi dan menyisir rambutnya. Naomi memberinya ikat rambut kecil tanpa berkata-kata, membuat Arga meringis dan mengikat rambutnya dengan baik.
"Awas kalau nggak segera dipotong."
"Suka, kan?"
"Siapa bilang? Kalau geregetan, aku sendiri yang gunting rambut kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Suamiku: Jangan Lupa Banyak Bicara Hari Ini
عاطفيةSaudari Naomi Priska Sastraperwira, maukah kamu melihat saya setiap bangun tidur? Lalu ketika pulang kerja, eh ada saya lagi, saat makan malam, saya muncul lagi. Begitu mau tidur, ternyata saya lagi yang disamping kamu. Ketika kamu lagi PMS dan ngga...