Rowan langsung duduk dan membuka tudung jubahnya begitu sampai ke sebuah kedai minum, menemukan orang yang mengirim pesan padanya di meja sudut kedai. Rowan menyeringai kecil.
“Lama tidak bertemu, Philips,” kata Rowan sambil bersandar di kursi kayu itu. “Kudengar dari Baginda kau mampir ke ibu kota, tapi kau tidak menyapaku.”
Pria setengah baya berambut biru tua yang kalau dilihat mungkin sekilas seperti hitam itu menghela napas sambil menyimbak tudung jubah yang menutupi kepalanya. “Aku hanya mampir sebentar untuk menyapa Baginda.”
“Tapi kau tidak menyapa teman seperjuanganmu. Kudengar putrimu juga sempat minum teh dengan Putri Mahkota.”
Rowan melihat sekeliling isi kedai itu. Sudah lama sekali tidak datang ke tempat seperti ini. Padahal saat masih menjadi kesatria, mereka berempat dengan kaisar selalu datang untuk minum setelah menyelesaikan ekspedisi.
“Aku bahkan tidak mengunjungi putraku,” jawab Philips Bellidona.
“Lalu apa yang membuatmu kembali lagi ke ibu kota?” Rowan meraih gelas bir yang memang sepertinya sudah dipesan sesaat sebelum ia datang.
Belakangan ini Rowan sering sekali mendapat pesan pada malam hari. Tidak peduli dari putra mahkota atau kaisar. Satu jam yang lalu Rowan nyaris memenggal kepala pengantar pesan dari Philips.
“Kau tahu kalau aku mengantarkan putriku pada Keir.”
Yah. Begitulah perjanjian yang dibuat saat mereka masih kesatria muda. Philips akan menjodohkan anaknya dengan anak Keir jika salah satu dari mereka adalah lawan jenis. Sialnya, Keir gila setelah itu.
Bukan gila yang terjadi pada umumnya. Keir banyak sekali membuat ulah sampai pendeta agung menyatakan kegilaan padanya.
“Kau mau membicarakan Keir?” tanya Rowan. “Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya selama hampir tiga puluh tahun.”
“Ini gila,” gumam Philips. “Dan aku menyerahkan putriku kepada orang itu.”
Rowan mendengkus. “Bukankah dia masih bersama Jeni? Putrimu sudah mementukan siapa yang akan dinikahinya?”
Philips mengepalkan tangannya di atas meja. “Justru itu masalahnya.”
Rowan mengerutkan kening. “Kupikir tidak masalah karena Keir punya tiga putra.”
“Putriku tertarik pada kesatria kehormatan Pangeran.”
Rowan membuka mulutnya dan mengangguk. “Putra tunggal Illiphia.”
“Aku tak tahu apa pun tentang bocah itu. Dia berbahaya atau tidak. Apakah pilihan benar kalau Terra memilihnya.”
Rowan tertawa. “Philips, ada hal yang harus kau ketahui.”
Philips mengangkat kepalanya untuk menatap Rowan. “Aku menghabiskan waktu untuk putriku dan wilayah Bellia setelah pensiun dari negara. Kau tahu aku tidak memiliki pengetahuan apa pun saat ini.”
“Pertama, putranya Illiphia, dia bukan seorang bocah. Dia seusia dengan Putri Mahkota.”
Philips menegakkan tubuh.
Rowan lantas menyeringai lagi. “Kedua, pria itu adalah orang yang berbahaya.”
“Aku tidak bisa memberikan putriku pada pria yang seperti itu,” potong Philips.
“Yang ketiga,” lanjut Rowan. Ia mengabaikan pendapat dari Philips. “Tidak ada pilihan sempurna dari Sillabent selain Ercher Sillabent.”
“Rowan,” Philips mengeluh. Pasalnya, setelah mendapat surat sekitar 2 hari lalu dari Jeni, Philips harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di surat itu. “Kau tahu kondisi putriku. Aku tidak bisa memberikannya pada pria yang berbahaya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baron's Heart (Tamat)
Fantasy(Series 3 Easter) // SUDAH TERBIT Setelah meninggalkan Monsecc sejak usia 8 tahun, Ercher nyaris lupa kampung halaman. Bukan. Ercher ingin melupakan kampung halamannya. Namun, Baginda Iberich dan Pangeran Ein memerintahkannya untuk kembali ke rumah...