"Jeno...,"
Sang empu menoleh dengan wajah pucatnya.
"Udah, ya? Jangan bersedih terus," ucap Nara.
Jeno kembali menundukkan kepalanya.
Mereka berdua tengah duduk di sebuah kursi taman, cukup jauh dari area pemakaman. Nara memang sengaja mengajak Jeno untuk pergi dari tempat peristirahatan terakhir tersebut.
"Kamu tau, kuburan siapa yang aku tangisi?" Tiba-tiba saja Jeno bertanya hal tersebut.
Nara diam tak menjawab. Ia sempat menerka-nerka bahwa itu pemakaman ayahnya. Tapi Nara takut jawabannya hanya membuat hati Jeno kembali sakit dan bersedih. Ia memilih diam untuk mendengarkan.
"Itu adalah Ayahku. Ayah terbaik yang pernah aku miliki. Dia tak pernah mengeluh sedikitpun dihadapan istri dan anaknya. Ta-tapi, aku sebagai anak laki-laki sangatlah tidak becus. Aku hanya tau dia bekerja untukku. Aku selalu meminta ini dan itu kepadanya. Aku belum sempat membalas kebaikan dirinya,"
"Tapi aku....ternyata aku meninggal sebelum aku membalas kebaikan Ayah dan Ibuku. Jika sekarang aku masih hidup, mungkin aku akan berusaha menjadi anak yang membanggakan. Mengapa orang sangat jahat kepadaku? Mengapa mereka membunuhku? Seharusnya aku masih hidup!!"
"Hei, Jeno..." Nara menangkup kedua pipi Jeno. Mata mereka saling bertemu. Nara menghapus air mata yang jatuh di pipi Jeno.
"Nara, apakah aku harus balas dendam kepada mereka?"
Nara menggeleng keras. "Gak boleh. Kalau kamu membalas dendam dan sampai mencelakai mereka, itu sama saja kamu juga jahat, Jeno,"
"Tapi aku begini karena gara-gara mereka, Nara..." lirih Jeno.
"Gak boleh." Tegas Nara.
"Jeno liat aku,"
Mata sembab Jeno menatap mata Nara lekat-lekat. Tangan Nara masih menangkup wajah Jeno.
"Dengerin ya, Jeno kamu nggak boleh menyalahkan diri kamu sendiri, kamu nggak boleh berpikir untuk balas dendam..."
Nara menarik napasnya, "Kamu harus ikhlas menerima ini semua. Mungkin sulit dan menyakitkan, tapi ini adalah yang terbaik. Jangan biasakan kejahatan dibalas dengan kejahatan kembali, oke?"
"Aku percaya kamu adalah orang hebat, aku percaya Ayahmu sangat bangga kepadamu. Aku lihat, kamu adalah seorang anak laki-laki yang berprestasi. Orang tuamu pasti bangga, Jeno. Jadi, berhenti untuk menyalahkan diri sendiri, apalagi sampai memanggil dirimu sendiri sebagai orang yang tidak becus."
Nara teringat kembali saat ia memasuki kamar Jeno. Terlihat begitu banyak medali dan piala yang terpajang disana. Dan beberapa foto Jeno bersama kedua orangtuanya dengan Jeno memegang piala. Tercipta senyuman bahagia dan bangga di balik foto tersebut.
"Jangan sedih lagi, ya?" Nara mengangkat jari kelingkingnya dihadapan Jeno.
Jeno menatap jari kelingking Nara yang terangkat. Kemudian ia pun menautkan jari kelingkingnya perlahan.
"Terima kasih, Nara."
***
Malam yang sunyi, Siyeon masih di rawat di rumah sakit dan baru diperbolehkan pulang esok hari.
Mark sedang pergi ke luar. Hampir semua bangsal di tutup oleh tirai, dan beberapa terlihat tengah tertidur pulas dengan tirai yang terbuka.
Siyeon memutuskan untuk menutup matanya. Ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat tersebut dan kembali menghirup udara segar, bukan aroma obat khas rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE | Lee Jeno
Mystery / Thriller[COMPLETED] "Tentang jiwa yang terpisah dengan raga.Tentang Engkau yang mencari kebenaran atas kematian yang tak wajar." Bisakah aku melihatmu lagi?ㅡArcane. [12-2021] #4 in Thriller [090222] #3 in Thriller [040322] #2 in Thriller Terdapat; - Kekeras...