"Hari Kamis keluarga gue, termasuk gue sama Nigel, sih. Kita mau pergi ke Voxeoston. Gender reveal anak Jax sama Glitz di sama." kata Jay pada Irene.
"Jam berapa kalian pergi?" tanya Irene.
"Pagi, jam sembilan gitu."
Irene mengangguk lalu memasang raut sedih. "Onti bakal kangen banget dong sama Nigel."
"Lo ikut."
"Hah?" Irene langsung menoleh pada Jay. "Aku ikut?"
"Iya, sekalian biar lo tau Voxeoston itu gimana. Nigel pasti bakal nangis terus sih kalo lo nggak ada." Jay menatap Nigel yang tampak mengantuk di ayunan elektrik.
"Aku hari Kamis ada jadwal konseling, dari jam sepuluh pagi sampe jam empat sore."
"Sekali-sekali nggak masuk emang nggak bisa?" tanya Jay.
"Nggak bisa dong, setiap jadwal konseling, aku selalu ada janji sama pasien, aku selalu ada pasien."
"Gimana sama Nigel kalo kayak gitu? Ya, seenggaknya kalo ada lo gue nggak kasihan-kasihan amat lah, pada punya pasangan mereka."
"Bener-bener cuma mikirin kamu sama Nigel, ya." Irene tertawa.
"Ikut dong." Jay tampak memelas.
"Aku nggak enak dong sama pasien aku, nggak profesional banget juga. Kita video call aja deh ntar." ujar Irene.
"Sedangkan ada lo di depan dengan posisi lo berdiri di depan Nigel, Nigel aja langsung nangis pengen minta digendong."
Irene diam sambil menatap Nigel yang sudah terlelap. "Mau gimana lagi? Jujur, aku nggak bisa tinggalin pasien aku gitu juga."
Jay diam sejenak dengan perasaan kecewa, "ya udah kalo gitu."
"Kayaknya kamu excited banget kemaren-kemaren, giliran besok kita mau pergi kamu jadi diem." kata Jax sambil berbaring di tempat tidur dengan Glitzy yang sudah lebih dulu berbaring.
"Aku kepikiran sama jenis kelamin anak kita." balas Glitzy sembari memainkan kerah piyama Jax.
Semenjak menikah, Jax yang tadinya tidur dengan menggunakan kaus menjadi selalu memakai piyama karena Glitzy yang ingin mereka memakai piyama couple."Ngapain kamu pikirin? Nggak usah dipikirin."
"Kamu pasti mau anak laki-laki, 'kan? Jujur." ujar Glitzy.
"Sayang, aku beneran nggak masalah anak kita laki-laki atau perempuan. Dari dulu aku selalu bilang kayak gitu, 'kan? Nggak masalah soal jenis kelamin."
"Tapi, 'kan, nanti anak kita bakal jadi penerus kamu, pengganti kamu. Pemimpin itu identik sama laki-laki, ibaratnya laki-laki itu ditakdirkan untuk jadi pemimpin." kata Glitzy.
"Sekali lagi, aku nggak masalah soal jenis kelamin, oke? Atau jangan-jangan kamu yang pengen punya anak laki-laki?"
Glitzy langsung menggelengkan kepala. "Ih, aku sama kayak kamu. Kenapa kamu malah kayak nuduh gitu?"
Jax membulatkan mata. "Enggak, Sayang. Aku nggak nuduh kamu, tadi aku cuma nanya kok."
"Menurut aku, kamu kayak nuduh gitu." Glitzy kesal.
"Kamu sendiri aja masih pake kata 'kayak', itu artinya belum tentu, 'kan?"
Glitzy menatap kesal Jax.
Jax tidak panik sedikitpun walaupun ini adalah yang pertama kalinya Glitzy tampak kesal pada Jax. "Ya udah, aku minta maaf kalo kamu ngerasa aku tuduh. Mau maafin aku, 'kan?" tanya Jax dengan lembut dan barulah Jax panik melihat Glitzy beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Jax langsung ikut beranjak dan menyusul Glitzy. "Sayang, jangan ngambek gini dong, aku minta maaf."
Glitzy berhenti melangkah dan balik badan. "Aku juga nggak masalah soal jenis kelamin anak kita, tapi, tadi kamu tuh nanyanya kayak nuduh aku, curiga sama aku."
Jax membulatkan mata melihat satu air mata keluar dan mengalir di pipi Glitzy. "Sayang, please, jangan nangis. Aku bener-bener minta maaf, aku ngerasa jahat banget kalo kamu nangis karena aku, apalagi karena ngerasa sakit hati sama aku, please."
Raut wajah Glitzy berubah panik seketika karena kini Jax sedang berlutut di depannya, langsung berlutut begitu melihat Glitzy menangis. Raut penuh penyesalan terpancar jelas di wajah Jax.
"Enggak, aku nggak nangis." Glitzy langsung menghapus air matanya. "Kamu berdiri dong, iya, aku maafin." Glitzy tidak tega melihat raut wajah bersalah Jax kepadanya.
"Tapi, kamu nggak salah. Ngapain kamu minta maaf?" tanya Glitzy.
"Tadi kamu ngerasa dituduh sama aku, padahal aku nggak ada maksud bikin kamu sakit hati, beneran." Jax masih berlutut dengan menggenggam erat tangan Glitzy.
"Tadi aku lagi lebay banget, sekarang udah enggak kok. Aku juga minta maaf karena udah bikin kamu panik." ucap Glitzy.
"Kamu nggak salah, kamu nggak pernah kayak tadi sebelumnya dan kamu yang barusan itu karena kamu lagi hamil, kamu yang lagi sensitif, aku nggak bisa salahin kamu. Dokter juga udah bilang kok sama aku kalo ibu hamil itu ngalamin mood swing, aku ngerti." kata Jax.
"Tetep aja aku mau minta maaf." Glitzy beralih duduk di lantai lalu memeluk Jax.
"Iya-iya, aku maafin." balas Jax sambil mengusap-usap punggung Glitzy dengan posisi berlutut.
"Kalian ngapain?" tanya Gwen yang baru saja muncul dan heran melihat Jax dan Glitzy berpelukan di lantai.
"Tadi ada masalah, tapi, kita udah baik-baik aja sekarang, Mi." jawab Jax.
"Mood swing, Mi." kata Glitzy dengan pelan dan kedua tangan yang melingkar di leher Jax.
Gwen tertawa dan berjalan mendekat. "Pantes aja kalian di telfon nggak ada yang diangkat, lagi di luar kamar ternyata."
"Glitz ngerasa sensitif banget sama nada dering HP, ya udah, kalo kita udah masuk ke kamar HP langsung di silent Mi." kata Glitzy.
"Oh." Gwen mengangguk. "Mami mau bilang kalo besok kita pergi ke Voxeoston sekitar jam enam sore."
"Kenapa jadi jam enam, Mi?" tanya Jax.
"Karena Jay, Nigel, sama Irene. Jay jujur sama Mami kalo dia pengen serius sama Irene, kalian juga tau kalo Nigel kayak udah anggap Irene itu maminya, dan yang terakhir karena hari Kamis Irene ada jadwal konseling terus selesai jam empat sore." jawab Gwen.
Jax mengangguk. "Oke, nggak masalah."
Gwen ikut mengangguk dan menunjuk Glitzy sejenak lalu pergi untuk pulang ke rumahnya. Jax menundukkan kepala, menatap Glitzy yang ternyata sudah terlelap dalam pelukannya dengan mereka yang duduk di lantai.
Qotd: pengen nggak rumah tangga kalian kayak Jax & Glitzy?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Regrets [COMPLETED]
Teen FictionDi saat Jax dan Glitzy diselimuti kebahagiaan setelah resmi menjadi sepasang suami istri, di saat itulah Jay dan May merasakan penyesalan dan dipenuhi kekacauan.