61

4.6K 730 74
                                    

Aku mengaduk cangkir teh dengan canggung. Chandler duduk di depanku. Dia dengan santai memasukkan kue rasa teh hijau yang tawar dan pahit ke dalam mulutnya. Chandler terlihat sangat menyukai kue yang dibenci banyak orang itu. Aku rasa, di dunia ini yang suka kue teh hijau hanya Chandler. Kalau aku sih mau kue itu adalah makanan terakhir di bumi pun aku tetap tidak sudi memakannya. Bukan hanya karena rasanya yang tawar dan pahit. Tapi, ada serpihan daun teh hijau di kue itu. Jadi, rasanya seperti memakan daun teh yang diberi tepung. Pokoknya tidak enak!

Setelah 34 hari tinggal di istana kekaisaran, aku jadi tahu beberapa hal tentang Chandler. Dia selalu bangun sebelum matahari terbit. Camilan kesukannya adalah kue dengan rasa pahit atau gurih. Dia tidak suka makan buncis. Pekerjaan yang sangat penting akan dia bawa ke kamar. Minuman kesukaannya hanyalah air putih. Dia selalu minum alkohol yang dulu aku kira sari bunga untuk membuatnya bisa tidur. Tapi, akhir-akhir ini sudah jarang.

"Kenapa kau menatapku?" tanya Chandler.

Aku langsung memalingkan wajahku. Pipiku memerah.

Dia peka sekali! Padahal aku hanya menatapnya sedikit. Tapi, dia langsung sadar.

"Tidak apa! Hanya ingin bertanya kapan Abel selesai." kataku.

Ah, aku dan Chandler sekarang bukan sedang kencan atau makan siang bersama, kok. Kami berdua tengah menunggu Abel untuk minum teh bersama. Dia masih belajar. Padahal, kelasnya seharusnya sudah selesai 15 menit lalu. Aku jadi terpaksa menunggu di taman dengan Chandler. Dan, ini benar-benar menyiksaku!

Minum teh bersama biasanya kami lakukan setiap 1 minggu sekali di akhir pekan. Kegiatan ini adalah permintaan Abel. Katanya, dia ingin kami bertiga jadi lebih dekat. Selain itu, dulu keluarganya Abel selalu minum teh bersama. Jadi, dia ingin melakukannya dengan keluarga barunya.

Aku sebenarnya ingin menolak karena minum teh bersama Chandler adalah neraka bagiku. Tapi, begitu melihat mata Abel yang penuh harap, aku jadi tidak bisa berpikir dan langsung mengiyakan ajakannya. Huhu...

"Entahlah!" jawab Chandler singkat.

Dia kini mencelupkan roti tawar yang dicelup di dalam teh hijaunya.

Ugh! Melihat selera makan Chandler membuatku ingin muntah. Bagaimana mungkin dia mencampur roti yang tawar dengan teh hijau yang pahit.

Argh! Melihatnya saja aku tidak sanggup!

Whoosh!!!

Angin musim dingin berhembus. Aku memeluk tubuhku. Rasanya dingin. Aku ternyata memilih gaun yang salah. Aku pikir gaun dengan bagian bawah berlapis ini akan membuatku tetap hangat. Rupanya, tidak! Harusnya aku memakai gaun dengan syal bulu. Tapi, aku pikir gaun itu lebih cocok untuk pesta atau pergi keluar istana. Memang sebaiknya aku mengutaman fungsi dibandingkan gaya.

Sekarang seharusnya sudah musim dingin. Aku mungkin akan bisa melihat salju pertama turun hari ini. Itupun kalau aku tidak masuk duluan ke istana karena kedinginan. Aku ingin sekali melihat salju pertama.

"Hatchi!"

Aku menutup mulut dan hidungku dengan kedua tangan. Aku menyedot hidungku yang berair. Ugh! Aku rasa aku bisa terkena flu kalau menunggu lebih lama lagi. Teh hangat ini bahkan tidak bisa membuatku merasa sedikit lebih hangat.

"Apa alergi bungamu kambuh lagi?" tanya Chandler dingin.

Kedinginan Chandler bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa dingin yang aku rasakan.

Aku menyedot hidungku sekali lagi, "Tidak! Saya hanya kedinginan!" kataku.

Chandler berdiri. Dia melepas jasnya. Kemudian, menempatkannya di atas punggungku.

"Pakai ini! Aku kebal terhadap dingin." katanya.

Tubuhku membeku. Jantungku berdegup kencang. Kenapa Chandler peduli padaku? Apa dia mulai jatuh hati pada pesonaku? Tapi, memangnya aku punya pesona yang bisa membuat pria dingin ini jatuh hati dalam semalam? Rasanya tidak! Jangankan semalam, selamanya pun tidak akan bisa. Chandler itu terlalu dingin untuk bisa didekati.

"Terima kasih!" kataku lembut.

Aku menyedot hidungku lagi. Tercium aroma bunga roscena dari jas Chandler. Lagi-lagi aroma bunga ini. Aneh sekali!

"Aku tidak suka merawat orang sakit! Jadi, jangan sampai kau sakit! Itu akan merepotkanku!" katanya santai sembari menyandarkan punggungnya pada kursi.

Aku memelotot. Bisa-bisanya dia menerbangkanku ke atas awan dan mendorongku jatuh dalam waktu singkat. Hah! Memang sebaiknya aku tidak berharap apapun pada Chandler.

Mataku memelototi Chandler. Aku menusuk kue coklat dengan garpu. Kemudian, langsung memasukkannya ke dalam mulutku. Pipiku jadi mengembung karena kue itu. Aku jadi seperti tupai yang menyimpan persediaan kacang di mulutnya untuk dipindahkan ke sarang.

"Makan pelan-pelan! Akan merepotkan kalau kau tersedak!" katanya lagi.

Aku acuh. Kali ini memasukkan kue jahe langsung ke dalam mulutku. Chandler menghela nafas. Dia diam. Untuk apa aku mendengarkan perkataan pria yang akan menjadi mantan suamiku 4 tahun lagi?

"Hah! Kau dari dulu memang keras kepala!" lirih Chandler pelan.

Aku mendangak. Mulutku mengunyah kue jahe dengan cepat demi mendengar ucapan Chandler. Apa maksudnya dengan dari dulu? Apa Chandler sudah mengenal diriku sejak dulu? Apa dia sudah tahu obsesi ayahku sejak lama?

"Erghhh!!!" seruku.

Tangan kananku memegang leherku. Sementara, tangan kiriku menggebrak meja. Chandler panik. Dia langsung mengangkat cangkir tehnya dan meletakkannya di atas bibirku. Aku langsung meminum semua isinya. Rasanya pahit karena itu adalah teh hijau. Tapi, aku tidak bisa memuntahkannya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Aku menghela nafas. Kue jahe yang tertahan di kerongkonganku sudah meluncur ke lambungku. Aku jadi bisa hidup dengan tenang sekarang. Gila! Rasanya aku akan mati.

"Hei! Kenapa kau terus merepotkanku?" tanya Chandler sebal.

"Apa anda tidak suka karena saya meminum semua teh anda? Kalau begitu saya kembalikan!"

Aku mengambil cangkir teh di atas meja. Mulutku terbuka. Beberapa tetes teh menetes dari mulutku. Chandler langsung menarik cangkir itu dari tanganku.

"Berhenti melakukan hal yang menggelikan!" katanya sembari terus berusaha menjauhkan cangkir itu dari tanganku.

"Kembalikan!!!" seruku.

Kami berdua sekarang berlarian mengelilingi meja. Persis seperti dua kucing yang berebut mainan.

Aku berusaha meraih cangkir teh itu ketika Chandler tidak lagi berlari. Kakiku berjinjit. Tangan kananku terangkat. Chandler menggenggam tanganku.

Deg!

Aku baru sadar kalau wajah kami berdua sangat dekat. Begitu dekat sampai aku bisa melihat wajah Chandler.

"Ayah! Ibu!" seru Abel.

Kami berdua langsung memalingkan wajah. Pipiku semakin memerah. Jantungku berdegup kencang.

Abel menatap kami berdua.

"Ayah? Ibu? Kenapa wajah kalian merah? Apa udaranya terlalu dingin?" tanya Abel dengan wajah polosnya.

Eh?! Apa maksudnya? Apa Chandler juga....

Aku menoleh.

Chandler memalingkan wajahnya. Tangan kanannya berada di atas bibir dan hidungnya. Pipi Chandler bahkan lebih merah dari aku.

Apa dia demam?

"Hahaha, iya! Sangat dingin!" kataku.

"Ibu! Lihat! Salju!" seru Abel sembari menunjuk ke atas.

Aku mendangak. Salju berguguran di sekitar kami. Terlihat indah. Tapi, aku lebih suka salju milik Chandler.

"Cantiknya!" kataku.

"Tapi, ibu lebih cantik! Benar kan, ayah?" tanya Abel sembari menatap Chandler yang masih memalingkan wajahnya.

Chandler diam. Dia hanya mengangguk pelan.

Emperor, Please Obey Me!✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang