66

4.6K 697 57
                                    

Aku mulai berkemas. Arla dan Erla membantuku. Mereka memasukkan gaun dari bahan katun yang tipis. Namun, membuatku nyaman. Sekarang di wilayah timur kekaisaran adalah musim semi. Jadi, tidak masalah kalau aku memakai gaun tipis.

Yah, wilayah Algeiro memiliki 4 musim yang berbeda di setiap daerah. Jika di wilayah timur sedang musim semi. Maka, di wilayah barat sedang musim panas. Di wilayah utara musim gugur dan di wilayah barat alias bagian ibukota tengah dilanda musim dingin. Aneh rasanya karena Algeiro memiliki 4 musim yang berbeda sekaligus. Tapi, hal ini menguntungkan karena kami tidak akan kekurangan pangan selama musim dingin berlangsung. Karena, ada 3 wilayah lain yang bisa ditanami bahan pangan.

Tok! Tok! Tok!

"Yang Mulia Ratu, apakah saya boleh masuk?" tanya seseorang sembari mengetuk pintu kamarku pelan.

"Apa anda ingin membuka pintunya, Yang Mulia?" tanya Arla yang sedang melipat kembali pakaianku.

Aku mengangguk. Arla bergegas membuka pintu. Dari balik pintu, muncul seorang pria berusia 24 tahun dengan rambut putih dan manik mata ungu. Dia adalah Tuan Aloysius, guru berpedang Abel.

Apa yang dia inginkan dariku?

"Terima kasih karena telah mengijinkan saya masuk, Yang Mulia!" katanya sembari menundukkan kepalanya.

Aku mengangguk. Tersenyum, "Apa ada perlu sesuatu, Tuan?" tanyaku ramah.

"Tidak, Yang Mulia! Kedatangan saya kemari adalah untuk memberikan anda belati ini." katanya sembari menunjukkan sebuah belati dengan lambang bunga roscena di pegangannya.

Apa ini harta kekaisaran? Atau mungkin artefak lama? Apa gunanya untukku?!

"Belati ini bisa melukai seorang penyihir. Saya rasa anda akan membutuhkannya untuk melindungi diri anda." katanya ramah.

Aku menatap belati itu. Rasanya tidak asing untukku. Aku merasa seperti pernah melihatnya. Tidak! Aku malah merasa kalau akulah orang yang membuatnya.

Aku menerima belati itu.

"Terima kasih atas senjatanya, Tuan Aloysius! Saya akan memakainya dengan baik!" kataku.

"Senang karena bisa melayani anda, Yang Mulia!" jawab Aloysius sembari menundukkan kepalanya.

Bukankah dia terlalu sopan padaku?!

"Ah, saya dengar anda akan menikah bulan depan! Selamat, ya! Tolong undang saya ke pernikahan anda!"

Calon istri Aloysius adalah Sherina Mun Octaff. Dia adalah putri dari Duke Octaff. Usianya baru 22 tahun. Aku dengar keduanya bertemu saat festival musim dingin tahun lalu. Mereka berpacaran dan memutuskan untuk menikah musim semi tahun ini.

Hah! Padahal pria yang 4 tahun lebih tua dariku ini harusnya sedang mengurus pernikahannya. Tapi, dia justru harus pergi ke tempat yang berbahaya demi kehidupan yang lebih baik bagi orang lain. Aku salut pada Sherina karena dia mengijinkan calon suaminya pergi ke medan perang. Padahal, dia bisa mati kapan saja. Kalau aku sih pasti akan langsung menali Aloysius agar dia tidak bisa pergi kemana-mana.

"Terima kasih, Yang Mulia! Tentu saja saya akan mengundang anda!" katanya.

Aku mengangguk. Tersenyum.

Ini pertama kalinya aku bicara dengan Aloysius. Rasanya sangat canggung.

Aloysius balas tersenyum, "Kalau begitu saya pergi dulu, Yang Mulia!" katanya.

Aku kembali mengangguk. Aloysius kemudian pergi. Aku benar-benar merasa tidak asing dengan belati ini. Rasanya seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi, dimana?!

Argh! Tidak tahu, deh! Palingan di salah satu gambar buku sejarah yang jadi menu makanku setiap hari. Karena ada gambar bunga roscena di pegangannya, artinya belati ini memang harta kekaisaran.

"Yang Mulia, apa anda ingin mengemas barang yang lain?" tanya Erla.

Aku tersentak. Segera memasukkan belati itu ke dalam saku pakaianku. Aku mungkin akan membutuhkannya nanti. Toh, aku memang butuh senjata untuk mempertahankan diriku. Sebisa mungkin, aku tidak ingin menjadi beban bagi Chandler, Abel atau ksatria lain yang mengikuti perjalanan ini.

"Tidak perlu! Cukup pakaian dan obat-obatan saja!" kataku.

Ah, omong-omong, aku belum menggunakan sihir putihku sejak kemarin. Apa aku benar-benar bisa menyembuhkan seseorang? Aku ingin mencoba sihirku. Tapi, tidak ada orang yang terluka di sini. Kalaupun ada, aku tak yakin kalau aku bisa menyembuhkan mereka.

Apa aku harus melukai diriku sendiri untuk mengujinya? Tapi, rasanya akan merepotkan kalau aku terluka sekarang. Perjalanan panjang menuju kematian itu akan dimulai besok. Jadi, aku harus menjaga diriku mulai sekarang. Jangan sampai terluka! Jangan sampai merepotkan orang lain!

Aku sebenarnya ingin berlatih pedang. Tapi, sepertinya sudah terlalu terlambat. Semoga saja aku cukup hebat dalam menggunakan belati ini.

"Apa ada barang lain yang anda butuhkan, Yang Mulia?" tanya Erla. Memastikan sekali lagi.

"Tidak! Tolong bawakan aku makan siang!" kataku.

Arla mengangguk. Dia segera pergi ke dapur istana. Sementara, Erla mengecek barang bawaanku sekali lagi.

"Ibu!!!" seru Abel sembari berlari ke pelukanku.

Aku balas memeluknya. Abel sudah jadi jauh ceria sejak aku bangun beberapa jam lalu. Wajahnya tidak lagi terlihat sedih meski masih ada lingkaran hitam yang mengelilingi matanya.

"Halo, putra ibu sayang!" kataku sembari mengusap rambut Abel.

Abel yang sekarang sudah setinggi perutku mengangkat kepalanya, "Apa ibu akan pergi bersama Abel dan ayah?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Tentu saja ibu harus pergi!"

"Tapi, di sana kan berbahaya. Bagaimana kalau ibu terluka lagi? Lebih baik ibu di rumah saja. Abel dan ayah akan bertarung dengan kuat agar ibu bisa ceria lagi." katanya tulus.

Aku tersenyum. Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Abel benar-benar membuatku merasa sangat terharu. Padahal dia bukan putra kandungku. Kami juga baru bertemu 2 bulan lalu. Bagaimana mungkin dia bisa sesayang ini padaku? Aku jadi makin ingin memberikan yang terbaik untuknya.

"Ibu tidak akan terluka. Jadi, Abel tenang saja, ya! Ibu kan kuat!" kataku sembari mengusap rambut hitam Abel lembut.

Bibir Abel mengerucut. Dia menatapku. Seolah, sedang memaksaku untuk tetap tinggal di rumah dengan tatapan manik mata perak itu.

Abel lucu sekali!

"Ibu harus berlindung di balik punggung Abel! Dengan begitu, Abel bisa melindungi ibu!" katanya penuh percaya diri.

Aku tertawa pelan.

Bertemu dengan Abel selalu membuatku merasa tenang dan nyaman. Beda sekali dengan Chandler yang selalu memberikan banyak perasaan padaku sekaligus. Senang, sedih, marah, kesal dan suka. Semua itu selalu aku rasakan saat sedang bersama Chandler.

"Tentu saja! Ibu akan berlindung di balik punggung Abel yang kuat dan bisa diandalkan!" kataku sembari menekuk kedua sikuku dan mengangkatnya ke atas. Memamerkan ototku yang tertutup lapisan lemak sampai tidak terlihat.

Abel tertawa. Dia kembali memelukku.

Padahal aku ingin melindunginya. Kenapa dia malah mau melindungiku?!

"Apa punggungku tidak cukup bisa diandalkan?" tanya Chandler sembari mengecup keningku.

Wajahku memerah. Erla yang masih berada di dalam kamar juga ikut memerah.

Chandler sialan! Aku memang pernah setuju kalau kami berdua akan berpura-pura jadi pasangan suami istri yang mesra dan harmonis di hadapan orang-orang. Tapi, dia tidak bilang kalau aku harus melakukan sentuhan fisik. Tahu begini aku tidak sudi menurutinya.

Argh!!! Jantung sialan!!! Berhenti berdetak kencang karena pria sialan ini!!! Aku harus fokus pada perjalanan besok!!!

***
Spoiler: Ada 2 orang yang sekarat pas sampe di wilayah timur kekaisaran. Kalau urusan siapa yang mati bisa dibicarakan dulu lah, ya(๑ ิټ ิ)

Emperor, Please Obey Me!✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang