Side Story 2

6.9K 731 35
                                    

"Apa makanannya enak, Tia?" tanya Abel.

Kami bertiga kompak menatap Tia yang memakan camilan dengan lahap. Dia memasukkan semua camilan yang bisa dia makan. Tia jadi terlihat seperti seekor tupai yang memiliki banyak kacang di mulutnya.

Lucu sekali!

Walau begitu, Tia tetap tidak boleh makan terlalu banyak atau dia akan jadi gemuk. Sekarang saja pipinya sudah seperti akan tumpah ke lantai. Jika makan terus, bisa-bisa Tia jadi seberat gajah. Para bangsawan sialan itu juga pasti akan mengatai Tia sebagai babi karena dia terus makan.

"Tia, makanlah secukupnya, sayang! Tia bisa jadi gemuk nanti!" kataku.

Tia yang tengah memasukkan eclair isi lemon menatapku. Di kedua tangannya, ada camilan lain yang menunggu untuk dimakan.

"Tia kan hanya meniru ibu!" kata Tia acuh.

Anak ini....

Beraninya dia bilang kalau aku gemuk dan tukang makan. Berat badanku ini ideal, tau! Tidak berlebih seperti dia!

Argh! Gadis kecil ini anaknya siapa, sih? Kenapa sifatnya buruk sekali?! Sama sekali tidak mirip ayah dan ibunya.

Aku mengepalkan tanganku. Bersiap memukul Tia. Tapi, kemudian aku tahan. Anak kecil yang sering dipukul oleh orang tuanya akan tumbuh berbeda dengan anak yang biasa diberikan kasih sayang. Usia Tia adalah usia dimana dia belum tahu mana yang salah dan benar. Sebagai orang tua, aku harus memberikan penjelasan padanya. Kalau dia masih belum mengerti juga, akan aku pukul kepalanya!

"Tia! Orang-orang akan bilang kalau Tia adalah babi kalau Tia terlalu banyak makan. Tidakkah Tia tau itu?" tanyaku dengan nada yang lemah lembut.

Saat Abel masih kecil, aku selalu memperlakukannya dengan sangat manis dan lembut. Jadi, aku juga harus memperlakukan Tia seperti aku memperlakukan Abel agar tidak ada yang merasa dianaktirikan. Tapi kan dulu Abel sangat baik dan penurut. Aku bahkan tidak pernah memberitahunya mana yang benar dan salah sejak usianya 9 tahun. Karena, Abel sudah jadi anak yang mandiri. Sementara, Tia ini seperti titisan setan.

Hah! Mau seperti titisan setan ataupun malaikat, dia kan tetap putriku.

"Tia tahu!" jawabnya acuh.

"Kalau begitu, bisakah Tia berhenti makan?" tanyaku dengan penekanan di setiap kata.

"Untuk apa Tia berhenti makan hanya karena perkataan orang lain? Memang kenapa kalau Tia banyak makan dan jadi babi. Toh, makanan yang Tia makan bukan milik mereka. Mau Tia jadi babi atau beruang pun apa ruginya bagi mereka?! Jika mereka tidak suka melihat Tia, buang saja mata mereka!" kata Tia sedikit marah.

Aku menghela nafas.

Abel dan Chandler diam. Mereka memilih makan dengan tenang. Sudah jadi peraturan di keluarga kami. Jika salah seorang sedang bertengkar, maka yang lain tidak boleh ikut. Ini adalah masalahku dengan Tia. Jadi, aku harus menyelesaikannya sendiri.

Aku tahu ucapan Tia benar. Sudah jutaan kali aku bilang padanya kalau kita harus hidup sesuai dengan apa yang kita mau. Tidak perlu mendengarkan perkataan orang lain. Selama apa yang kita lakukan tidak merugikan siapapun. Maka, kita bebas melakukan apapun yang kita mau.

"Walau begitu, tetap saja Tia tidak boleh makan terlalu banyak. Nanti Tia bisa sakit perut!" kataku tegas.

Tia menelan makanan di mulutnya. Kemudian, meletakkan kue kering di tangannya kembali ke dalam piring. Aku tersenyum.

"Tia berhenti makan karena Tia takut sakit perut. Bukan karena takut dengan apa yang akan dikatakan orang lain!" kata Tia tak kalah tegas.

Aku mengangguk.

"Terima kasih sudah mendengarkan ibu. Dan, maafkan ibu kalau sudah menyakiti hati Tia!" kataku sembari mengusap rambut coklat Tia lembut.

Aku senang karena Tia sangat mirip denganku. Aku akan sangat sedih kalau seandainya rambut Tia mirip Chandler. Karena itu artinya akan ada 3 orang di keluarga ini dengan rambut hitam. Sementara, aku akan memiliki rambut coklat sendirian.

Tia meneguk susu di dekatnya. Tia memang seharusnya sudah belajar minum teh hijau. Tapi, gadis ini sudah menolak bahkan hanya dengan mencium baunya saja. Haha....

Jika Tia sudah bilang 'tidak' pada sesuatu. Maka, tidak ada yang bisa mengubah keputusannya. Tia itu benar-benar keras kepala. Tapi, aku senang dengan sifat keras kepala Tia karena itu berarti dia punya pendirian yang teguh. Yah, walau kadang sifatnya itu menjengkelkan.

"Ayah, susunya enak sekali!" kata Tia sembari menjilat bibirnya.

Suasana sudah sedikit mencair. Wajah Chandler dan Abel sudah kembali ceria seperti biasa.

"Apa Tia suka susunya?"

Tia mengangguk semangat, "Tia suka sekali!"

"Aloysius, cari peternakan yang memproduksi susu ini dan beli semuanya!" kata Chandler penuh wibawa.

Aloysius yang tengah berada di atas pohon yang tak jauh dari kami langsung turun. Sejak peristiwa 7 tahun lalu, Aloysius sekarang menjadi ksatria inti kepercayaan Chandler. Dia selalu berada tak jauh dari Tia untuk menjaganya. Karena itulah Aloysius berada di atas pohon. Karena kekuatan sihir lilac Tia, ada banyak orang yang berani mengincar Tia meski tahu siapa Tia.

Putri dari reinkarnasi dewi pertama dan pemilik satu-satunya sihir es. Juga adik dari pemilik satu-satunya sihir penghancur yang sangat kuat. Dan, jangan lupa dengan status Tia sebagai putri kekaisaran dengan jumlah ksatria terbanyak dan tekuat. Bukankah seharusnya itu sudah cukup untuk membuktikan seberapa hebat dan berbahayanya Tia? Walau begitu, tetap saja ada orang yang berani mengincar Tia.

Hah! Padahal sudah diberikan otak. Tapi, kenapa orang-orang tidak pernah memakai otaknya untuk berpikir?

"Beli semua susunya?" tanya Aloysius.

Chandler menoleh, "Apa maksudmu susunya? Tentu saja peternakannya!" kata Chandler tegas.

Aku menepuk jidatku. Suamiku ini lagi-lagi terlalu memanjakan Tia.

"Anda tidak bermaksud untuk memonopoli susunya, bukan?" tanya Aloysius sembari menatap Chandler datar.

"Kenapa kau menanyakan hal yang sudah jelas?"

Aloysius menghela nafas. Dia ingin protes. Tapi, tidak ada gunanya berdebat dengan ayah yang menyayangi putrinya. Jadi, Aloysius memilih pergi dan melaksanakan perintah Chandler. Aloysius yang kini merupakan ayah dari seorang putra berusia 5 tahun jelas tahu bagaimana perasaan Chandler. Tapi, tetap saja. Membeli satu peternakan sapi hanya untuk putrinya itu berlebihan. Tia kan tidak mungkin hanya minum susu seumur hidupnya.

"Terima kasih, ayah!" kata Tia sembari memeluk Chandler.

Hah! Aku takut jika Tia akan tumbuh jadi anak yang gila harta dan manja saat dia sudah dewasa nanti. Memberikan apa yang anak mau memang bagus. Tapi, kalau berlebihan begini sih yang ada malah menakutkan.

"Abel, nasehati ayahmu!" kataku.

Aku sudah menyerah dengan sikap Chandler sebagai seorang ayah. Abel mengangguk. Dia kemudian menatap Chandler penuh rasa iri.

"Ayah, bagaimana jika kita beli peternaknya sekalian agar tidak perlu repot mengurus sapinya? Mereka juga pasti lebih tahu soal sapinya. Dengan begitu, rasa susunya akan tetap sama!" kata Abel serius.

"Ide bagus! Ayah akan bilang pada Aloysius untuk membeli orangnya juga. Haruskah kita beli rumahnya juga? Tia sepertinya suka bermain rumah-rumahan dengan tema peternakan!"

Aku menepuk jidatku. Kepalaku terasa berdenyut.

Sebenarnya, kenapa kedua pria ini sangat tidak waras, sih?! Lebih parahnya aku malah tetap menyayangi mereka meski tahu kalau mereka ini sedikit gila. Kalau begitu, bukankah aku yang lebih gila?!

"Terima kasih, kakak!" kata Tia sembari memeluk Abel.

Abel dan Chandler tersenyum lebar. Kompak menatap Tia yang terus berceloteh soal buku dongeng yang dia baca. Aku tersenyum.

Keluargaku memang aneh. Tapi, tidak masalah! Karena aku punya sihir putih yang bisa menyembuhkan mereka.

Abel. Chandler. Dan, Tia.

Ayo hidup bahagia selamanya!

Emperor, Please Obey Me!✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang