33

5.2K 756 7
                                    

Aku tidak tahu kenapa Cahir tiba-tiba mengatakan hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia meminta seorang gadis yang disukai oleh orang yang begitu percaya padanya untuk menolak perasaan orang itu? Tapi, bukankah Cahir berkata seolah dia tahu kalau aku terpaksa menerima perasaan Chandler? Walau aku menyukai Cahir. Tapi, bukan berarti aku akan menolak ajakan Chandler untuk menikah dan menerimanya begitu saja.

Aku sudah terlanjur melangkah sejauh ini. Jika aku berhenti dan mundur sekarang, akan ada banyak orang yang terluka dan dirugikan. Ayahku yang sudah terlanjur membanggakanku yang akan segera jadi ratu di kekaisaran ini pasti akan menanggung malu karena aku mundur. Bisnis perkebunannya juga pasti akan merosot karena akan ada banyak rumor buruk yang beredar. Chandler yang berada dalam pengaruh ramuan cinta juga pasti tidak akan diam kalau aku menolak ajakannya untuk menikah. Selain itu, keluarga Cahir juga akan terkena dampaknya. Jika Chandler tahu kalau penyebab ia gagal menikahiku adalah karena ksatria kepercayaannya ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Chandler terhadap keluarga Marquiss Acchya dan keturunannya.

Ini semua terjadi karena kesalahanku. Jadi, aku akan menerima hukumannya. Apapun itu. Asalkan, hanya aku yang menanggungnya.

"Apa yang baru saja anda katakan, Tuan Acchya?" Tanyaku sembari tersenyum manis.

Cahir nampak tertegun. Wajahnya pias. Dia pasti terkejut.

"Tidakkah anda terpaksa menerima lamaran Yang Mulia Kaisar? Saat melihat wajah anda di taman, saya tahu anda terpaksa melakukannya." Kata Cahir.

Yah, perkataannya itu memang tidak salah, sih. Aku memang terpaksa melakukannya. Sampai sekarang pun masih seperti itu.

"Haha, saya hanya terkejut karena tiba-tiba Chandler melamar saya." Kataku sembari kembali melangkah. Cahir mengikutiku di belakang.

Cahir diam. Aku meliriknya. Yah, dia pasti tidak habis pikir kalau aku akan langsung memanggil nama Chandler tanpa ada embel-embel 'Yang Mulia Kaisar'. Dengan begini, Cahir pasti akan berpikir kalau aku dan Chandler sudah sangat akrab dan dekat hingga bisa memanggil satu sama lain hanya dengan nama.

Padahal, sebenarnya aku masih belum bisa memanggil Chandler dengan namanya. Sementara, anak itu bahkan sudah memberikan nama panggilan khusus untukku di kali keempat kami bertemu. Haha, orang yang waras dan gila memang berbeda.

"Kau tahu? Kalau pun aku terpaksa melakukannya, aku tetap tidak akan mundur. Kau tahu kenapa? Semua orang memberikan ekspektasi yang begitu tinggi dariku. Jadi, jika aku mundur sekarang, aku takut akan mematahkan ekspektasi mereka. Mereka pasti akan kecewa padaku, bukan?" Kataku sembari tersenyum pada Cahir.

"Tapi, bukan salah anda jika mereka  berekspektasi terlalu tinggi pada anda. Jadi, anda tidak perlu melakukan hal yang tidak anda mau hanya untuk menyenangkan orang lain. Anda kan punya hidup anda sendiri!"

Aku tersenyum, "Anda benar, Tuan Acchya. Bukan salah mereka karena berekspektasi terlalu tinggi terhadap saya. Tapi, salah saya yang hidup dalam ekspektasi mereka!" Kataku dengan nada suara yang lembut namun tidak terdengar menyedihkan.

Aku tidak mau menunjukkan sisi menyedihkanku di hadapan Cahir. Aku kan sudah susah payah membangun reputasiku. Walau pada akhirnya aku dan dia tidak bisa bersama. Tapi, aku tetap tidak mau merusak apa yang sudah aku bangun.

"Apa anda tidak bisa keluar dari sana?" Tanya Cahir lagi. Kali ini wajahnya terlihat lebih menyedihkan.

Kenapa pria ini tiba-tiba malah bertanya panjang lebar begini? Seperti detektif saja. Dan lagi, kenapa pertanyaannya tidak jauh-jauh dari aku suka Chandler atau tidak. Mencurigakan sekali! Apa mungkin Cahir menyukaiku? Tapi, masa dia suka pada gadis yang hampir membunuhnya. Dia ini tidak normal, ya?

Kepalaku menunduk, "Entahlah! Saya rasa saya tidak bisa hidup jika keluar dari ekspektasi itu." Kataku, "Saya sudah terbiasa hidup dalam ekspektasi orang lain sampai terasa aneh jika saya keluar dari sana!"

Cahir tertunduk sedih.

Argh! Aku ingin cepat sampai di perpustakaan. Rasanya aku bisa mati kalau harus berada di dekat Cahir lebih lama lagi. Kenapa dia tiba-tiba terus membicarakan hal-hal aneh? Dia bersikap seolah dia menyukaiku dan tidak rela jika aku menikah dengan orang lain. Ah, apa mungkin memang itu yang Cahir rasakan saat ini? Apa mungkin Cahir memang menyukaiku? Tapi, memangnya dia punya alasan untuk suka padaku? Selain wajahku yang cantik, tidak ada hal lain yang bisa dibanggakan dariku. Aku memang suka pada Cahir dan fakta kalau dia juga memiliki perasaan yang sama padaku tentu adalah hal yang membahagiakan. Cinta yang terasa begitu mustahil dan membuatku jadi orang paling tidak tahu diri di dunia itu ternyata terbalaskan. Tapi, sungguh! Aku merasa aneh karena Cahir juga menyukaiku.

Apa alasan dia menyukaiku? Apakah karena aku cantik? Tapi, di dekat Cahir ada banyak wanita yang lebih cantik. Kalau begitu, lantas karena apa? Apa karena sifatku yang baik? Tapi, itu semua tidak lebih dari sekadar pencitraan. Haruskah aku menanyakannya langsung? Tidak! Aku sudah bertekad untuk melupakan Cahir dan fokus mengurus Chandler yang sedang dimabuk cinta.

Aku tidak boleh goyah!

"Ah, ternyata kita sudah sampai!"

Cahir mengangkat kepalanya. Kamu berdua sudah sampai di perpustakaan. Tidak aku sangka aku bisa menemukan perpustakaan di istana seluas jidat Flo ini hanya dengan bermodalkan ingatanku akan peta istana yang aku baca 3 tahun lalu. Gila! Aku ini benar-benar seorang jenius.

"Terima kasih karena sudah mengantar saya, Tuan Acchya!" Kataku sembari tersenyum manis.

Cahir mengangguk. Kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun. Kalau aku adalah calon permaisuri gila bertangan besi, kepala Cahir pasti sudah lepas dari tubuhnya. Karena, meninggalkan orang dengan pangkat atau status sosial yang lebih tinggi tanpa berpamitan adalah kejahatan yang setara dengan menghina keluarga kekaisaran.

Aku menatap punggung Cahir yang semakin menjauh. Punggung dari pria yang aku suka setengah mati itu akhirnya menghilang di tengah taman.

Jujur saja. Aku ingin sekali mengiyakan pertanyaan Cahir. Aku ingin sekali mengatakan semuanya dengan jujur. Aku ingin sekali mengungapkan perasaanku. Tapi, kenyataan membuatku tak sanggup melakukannya.

Lihat saja aku! Padahal aku sudah bertekad untuk melupakan Cahir. Tapi, jantungku terus berdetak sejak tadi. Perutku juga terasa geli.

Aku akui saja.

Aku masih menyukai Cahir.

Perasaan ini. Entah kapan akan hilang.

Aku menatap pintu dengan tinggi 10 meter di hadapanku. Lebar pintu itu sekitar 7 meter. Ada ukiran dengan lambang Kekaisaran Algeiro di tengah pintu.

Aku mencekal ambang pintu ragu.

Apa aku benar-benar boleh melakukan ini? Aku kan belum resmi jadi ibunya Abel. Bagaimana kalau anak manis itu jadi membenciku?

CTASSSS!!!

PLAK!!!

BUK!!!

Deg!

Suara apa itu? Bukankah pelayan kembar bilang kalau Abel tengah belajar di perpustakaan? Kenapa aku malah mendengar suara yang menyeramkan begitu? Rasanya seperti berada di ruang penyiksaan bawah tanah.

Apa mungkin.....

Aku mendorong pintu besar itu. Manik mataku menatap seorang wanita yang berada tak jauh dariku dengan tajam.

"Apa yang anda lakukan pada Pangeran Abel?" Tanyaku.

Wanita tua itu balas menatapku tajam. Di tangannya, tergenggam sebuah kayu tipis yang panjang. Ujung kayu itu berlapis darah. Dan, di dekat Duchess Slavina, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun terlihat kesakitan.

Tangannya dipenuhi luka sabetan. Bibirnya mengalirkan darah segar. Kakinya terluka. Keringatnya mengalir deras. Tatapan matanya menunjukkan rasa sakit yang luar biasa.

"Apa orang luar seperti anda berhak ikut campur?" Tanya Duchess Slavina dengan nada suara yang begitu dingin.

Deg!

Aku....

Apa yang harus aku lakukan?

Emperor, Please Obey Me!✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang