65

4.8K 693 70
                                    

Kepalaku menunduk. Pikiranku kacau.

Kalau sampai terjadi sesuatu pada Chandler dan Abel, apa yang akan aku rasakan? Aku sudah kehilangan ibuku untuk yang kedua kalinya. Ayahku mengalami trauma berat sehingga membuatnya sulit diajak bicara. Dan, sekarang suami juga anakku akan pergi ke medan perang yang bisa membunuh mereka kapan saja?

Membayangkannya saja aku tidak sanggup.

Aku tidak bisa hidup dengan tenang jika mereka pergi.

Apa susahnya menawarkan perjanjian damai dengan para penyihir lagi? Mereka tidak perlu hidup dengan ketakutan di Algeiro asalkan mereka tidak menyerang para rakyat. Semudah itu! Tidak perlu ada korban atau pengorbanan apapun. Semuanya akan selamat!

Ah, kalau memang semudah itu, tentu saja tidak akan jadi sampai seperti ini.

Aku harus kuat!

Aku tidak boleh lemah!

Aku mengangkat kepalaku. Manik mataku menatap Chandler serius.

"Kalau begitu, bawa saya juga!" kataku mantap.

Chandler tersentak. Dia kemudian menggeleng pelan, "Kau adalah seorang ratu! Tugasmu adalah mengurus bagian dalam istana. Bukan pergi ke medan perang." kata Chandler.

Chandler duduk di pinggir kasur.

"Saya pergi sebagai istri anda dan ibu Abel! Bukan sebagai Ratu Algeiro."

Chandler menatapku. Manik mata merah darahnya membulat. Dia menghela nafas.

"Kekuatanmu hanyalah sihir putih, Thea! Sihir itu tidak bisa digunakan untuk menyerang!"

"Siapa tahu sihir putih saya bisa membebaskan para rakyat yang terkena pengaruh sihir hipnotis!" kataku penuh percaya diri.

Chandler menghela nafas sekali lagi. Dia mengusap keningnya. Apa dia sakit kepala? Ah, mungkin karena terlalu lama begadang.

"Sihir hipnotis termasuk sihir gelap, Thea! Hanya sihir cahaya yang bisa menangkalnya. Kau harus jadi dewi kalau mau melakukannya!" kata Chandler tegas.

Mataku memicing. Bibirku mengerucut. Aku menatap Chandler.

Aku juga tahu soal informasi yang dia berikan padaku. Aku tahu dengan jelas kalau sihir putih hanya bisa digunakan untuk menyembuhkan. Bukan menangkal sihir gelap. Tapi, aku tetap ingin membantu. Aku tidak tahu apa kekuatan yang selama ini berusaha ditekan oleh mendiang ibu tiriku ini cukup kuat untuk menyembuhkan seseorang. Tapi, aku ingin bisa membantu. Aku ingin menybuhkan Chandler dan Abel kalau seandaianya mereka terluka. Aku juga bisa memastikan mereka baik-baik saja selama aku berada di dekat mereka berdua. Dengan begitu, ketakutanku bisa sedikit berkurang.

Apa itu hal yang salah?

Apa tidak ada yang bisa aku lakukan? Apa aku tetap tidak berguna meski sudah memiliki kekuatan? Apa aku memang selemah ini?

Kepalaku menunduk. Kelopak mataku berair.

Chandler meletakkan kedua tangannya di pundakku. Aku mengangkat kepalanya. Chandler menghela nafas. Hal ini juga pasti berat untuknya. Kalau Chandler bisa memilih, dia juga pasti memilih kedamaian dengan para penyihir.

"Aku melakukan ini semua untukmu! Kalau aku mati, setidaknya kau harus tetap hidup. Kau harus memastikan Abel bahagia." kata Chandler. Nada bicaranya sedikit lebih lembut sekarang. Manik matanya menatap diriku.

Aku merasakan ketulusan dari caranya menatapku dan mada bicaranya.

"Abel juga butuh ayah untuk tumbuh." kataku.

"Apa Abel tahu jika dia akan pergi ke tempat yang berbahaya?" tanyaku memastikan.

Kalau Chandler mengajak Abel untuk terjun langsung ke medan perang, aku yakin kalau Abel tidak akan menolak karena dia selalu menurut akan perkataan ayahnya.

"Iya! Justru Abel sendiri yang menawarkan diri untuk membantu agar kau dan seluruh rakyat bisa hidup dengan nyaman!" kata Chandler.

Kepalaku menunduk. Kenapa Abel harus berkorban untuk aku? Aku kan ibunya. Harusnya aku yang berkorban untuknya. Harusnya aku yang berusaha agar Abel bisa hidup dengan nyaman. Aku kan sudah janji akan memberikan yang terbaik untuk Abel.

"Saya tidak akan merepotkan. Saya akan melindungi diriku sendiri. Jadi, tolong bawa saya!" kataku putus asa.

Aku terisak. Chandler menghela nafas sekali lagi. Dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis kencang.

Kalau situasinya lebih baik, aku akan mendorong Chandler karena memelukku secara tiba-tiba. Tapi, karena aku sedang sedih dan butuh pelukan, aku akan membiarkannya.

Ah, bau bunga roscena. Entah kenapa aku jadi sedikit lebih tenang.

"Kau hampir mati dua kali, Thea! Jadi, bagaimana mungkin aku membawaku ke tempat yang berbahaya?!" kata Chandler sembari mengusap rambutku.

Aku mendorong tubuhku ke belakang. Lepas dari pelukan Chandler.

"Memangnya, anda pikir saya akan mati lagi?!" kataku kesal. Aku menyedot cairan hidungku berkali-kali.

"Aku.... tidak mau kau mati." kata Chandler lirih.

"Saya juga tidak mau anda atau Abel mati! Walaupun saya hanyalah istri palsu, tapi, pernikahan kita asli! Bagaimana mungkin saya bisa hidup tenang sementara suami dan putra saya berada di tempat yang berbahaya?! Saya memang tidak melahirkan Abel. Tapi, saya sangat menyayanginya! Anda juga pasti tahu akan hal itu! Bagaimana mungkin orang yang_"

Chandler hanya tersenyum. Lubang telinganya menyemprotkan darah. Chandler kembali memelukku. Aku terdiam. Wajahku menghangat. Pipiku memerah. Jantungku berdetak kencang.

Kenapa Chandler tiba-tiba memelukku saat aku sudah tenang?! Kalau mau memeluk, setidaknya lakukan saat aku sedang sedih, dong!

"Aku akan membawa 3 ksatria inti lain untuk menjagamu. Perjalanan ke wilayah timur kekaisaran akan memakan waktu 7 hari. Kau bisa bilang padaku kalau berubah pikiran." kata Chandler.

Aku menggeleng, "Tidak! Saya akan tetap pergi apapun yang terjadi!" kataku mantap.

Andaikan aku punya dua mata di belakang kepalaku, aku akan bisa melihat pipi Chandler yang merah dan bibirnya yang melengkungkan senyuman manis. Dan, andaikan aku cukup peka, aku akan bisa mendengar suara detak jantung Chandler yang lebih keras dari jantungku. Dan, anehnya setiap kali mencium aroma bunga roscena dari tubuh Chandler, aku selalu merasa rinduku pada Xander terobati. Tapi, di lain sisi aku merasa marah sampai ingin memukulnya. Sedih sampai ingin menangis dengan kencang. Dan, bahagia sampai ingin melompat.

Sebenarnya, apa yang salah dengan diriku? Dan, siapa Xander? Aku jelas tidak pernah pacaran. Jadi, mustahil kalau tiba-tiba aku merindukan seorang pria. Apalagi, pria yang tidak aku ketahui siapa dan bagaimana rupanya.

"Perjalanannya akan panjang. Jadi, pakailah gaun yang membuatmu nyaman! Kita akan berangkat 1 hari lagi!"

"Baik!"

Aku menatap kepala Chandler dari belakang. Mau sampai kapan dia memelukku?

"Ayah? Ibu? Kalian sedang apa?" tanya Abel yang tiba-tiba terbangun.

Chandler langsung melepas pelukannya. Aku tersenyum kikuk.

"Hahahaha, ayah dan ibu hanya sedang melepas rindu!" kataku.

"Apa ayah dan ibu tidak tidur?" tanya Abel dengan wajah yang masih mengantuk.

"Ayah dan ibu akan segera tidur. Abel tidurlah lagi. Pagi masih cukup lama." kata Chandler lembut.

"Ayo tidur bersama!"

Aku tersenyum, "Baiklah! Tapi, Abel harus janji akan kembali tidur, okey?"

Abel mengangguk semangat. Dia kemudian berpindah ke tengah. Chandler berjalan menuju sisi lain kasur. Aku kembali merapatkan selimut. Tak lupa membungkus tubuh Abel juga. Tanganku menepuk pinggang Abel lembut sembari menatap wajahnya yang menenangkan.

Abel segera tidur. Begitu juga dengan Chandler.

Aku menatap langit-langit kamar. Apa yang akan terjadi besok? Apa aku benar-benar bisa menjaga Chandler dan Abel? Bagaimana kalau aku hanya akan merepotkan mereka?

"Tidak apa! Aku akan menjagamu!"

Aku memejamkan mataku. Kami bertiga kembali tidur sembari berpelukan seperti biasa.

Apapun yang terjadi nanti, aku akan berusaha keras agar tidak merepotkan siapapun.

Emperor, Please Obey Me!✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang