Pukul setengah lima pagi saat matahari belum menerbitkan dirinya, samar-samar sinar rembulan masih mengintip dari balik beberapa lapisan gorden yang terbentang di jendela. Jia mengerjapkan kedua matanya yang terlihat sembab, ia terbangun lantaran merasakan tenggorokannya mendadak sakit. Mungkin sebab semalaman ia menangis kencang dan terus meraung keras.
Seakan semua hal panjang yang dilalui tadi malam ialah sebuah mimpi semata. Jia terperanjat kecil mendapati sosok lelaki tampan yang bertelanjang dada tepat di sebelahnya sedang tertidur damai dengan dengkuran halus yang terdengar di tengah kesunyian pagi buta. Sontak ia membuang mukanya ke arah lain sambil meremas seprai ranjang yang sudah tak terbentuk.
Tanpa pikir panjang, Jia beranjak dari tempatnya perlahan dengan meremas tepi ranjang tatkala rasa sakit nan perih yang menjalar di seluruh tubuhnya itu kembali menyerang, terutama pada area selangkangannya. Tak segan pula Jia menggigit bibir bawahnya supaya tidak menimbulkan suara berisik yang mungkin saja dapat membangunkan lelaki yang tengah terlelap itu.
Memunguti seluruh pakaiannya yang tergeletak mengenaskan di lantai, kemudian memakainya dengan cepat seolah ia sedang dikejar kabut berbahaya yang siap meraupnya detik itu juga. Jia pun berjalan tertatih ke arah pintu kamar tanpa mengeluarkan suara sekecil apapun, termasuk ringisan yang bisa saja lolos dari bibirnya saat langkah demi langkah ia pijak.
Sesampainya di luar gedung, Jia menyapu pandangannya pada jalanan di sekitar. Sepi, hanya beberapa kendaraan mobil yang sudah terlihat melintas di kawasan tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya sebab merasa cemas dan bingung. Bagaimana caranya supaya ia bisa sampai ke rumahnya? Sedangkan jam operasional bus baru hendak mulai pukul lima pagi. Haruskah Jia menunggu selama setengah jam dalam kondisi yang tidak kondusif?
Sebenarnya bisa saja, hanya, Jia malu jika nantinya akan menjadi pusat perhatian banyak orang yang tak sengaja melihatnya dengan penampilan kacau. Tangan rapuh Jia yang bergetar itu bergerak merapikan tatanan rambutnya sekaligus menutupi bagian lehernya yang terdapat beberapa bercak merah. Ini sangat kacau, ia mesti menyamarkan semuanya.
Kepalanya menoleh ke sana kemari guna mencari tempat yang tepat untuk dirinya membenahi penampilan. Ketika berjalan sepersekian menit dari tempat semula, Jia menemukan toilet umum yang tak jauh dari sana. Tanpa berlama, kakinya memijak hingga tujuan meskipun terasa berat dan lemah. Namun, Jia terus memaksakan tubuhnya bergerak cepat supaya orang sekitar tak menyadari keberadaannya yang nampak mengenaskan.
Begitu pintu toilet terbuka, Jia buru-buru masuk ke dalam salah satu bilik karena ternyata ada beberapa siswi dari sekolah lain sedang berdandan di sana. Entah apa yang mereka lakukan sepagi ini, berdandan di toilet umum? Sungguh, seakan tak punya waktu luang di rumah yang bisa digunakan untuk bersiap sebelum pergi sekolah.
Jia melonjak kaget tatkala pintu biliknya diketuk keras oleh salah satu siswi tadi. Ia menggigit ibu jarinya ketakutan sambil berharap ketukan itu segera berakhir. "Hei, yang di dalem, buka dong!" Mendengar itu, Jia memejamkan matanya tanpa berniat membuka pintu biliknya.
"Gak mau dibuka. Udahlah cari aja yang lain," bisik siswi sang pelaku yang mengetuk pintu bilik tempat Jia berada seraya kembali bercermin. Namun sautan dari salah satunya menimbulkan tanda tanya besar pada Jia yang berusaha mencerna kalimat tersebut. "Itu mangsa terbaik yang pernah gue lihat."
Awalnya Jia menyangka dirinya hendak menjadi sasaran empuk untuk dirundung atau sebagainya. Akan tetapi, apa yang dipikirkannya salah besar. "Lo tadi gak lihat secantik apa dia? Luka di bibirnya juga kelihatan seksi. Gue pengen tau, semanis apa itu." Nyatanya, ini lebih menyeramkan dari apa yang dibayangkan di benaknya.
Jia membekap mulutnya sendiri sembari menundukkan kepalanya, takut-takut kalau oknum tersebut nekat mengintipnya dari toilet sebelah. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Kenapa sepagi ini, kesialan telah menghampirinya. Bagaimana bisa kaum penyuka sesama jenis itu muncul di hadapan Jia dan melontarkan kalimat menjijikkan seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable; Park Sunghoon ✓
Teen Fiction"Whether it's obsession or love. I don't care." ©2021, by bobarel.