Kulit bergesekan saat beberapa tubuh bertabrakan beserta pacuan jantung yang semakin menggebu dengan embusan napas berat enggan terkontrol. Bagai disetel ulang, sang otak pekerja keras itu seakan sulit mencerna perkata yang tersalurkan dari indera pendengaran.
Meskipun demikian, tak susah menangkap makna susunan kalimat tersebut. Namun, ia sukar menerima apa yang sudah pikirannya katakan.
Selagi berlari menuju ruangan ICU dengan tanpa rencana menabrak para perawat yang tengah bekerja, Jia menyangkal seluruh isi kemungkinan buruk yang terngiang-ngiang di benak. Masih berupaya meyakinkan bahwa sebelum kedua bola matanya melihat langsung, Jia punya harapan.
Sebanyak butiran pasir pantai yang dibentuk sebagai istana cantik pun tidak bisa menutup kenyataan jika ombak air laut yang menyeramkan itu tetap mampu menyerangnya hingga runtuh.
Singkatnya, di kala harapan kecil itu mulai terbangun guna menabahkan hati rapuhnya. Berita duka yang berperan sebagai ombak itu mendadak menerjang harapan terakhirnya. Tak ada lagi sisa-sisa angan walau sekecil tanda titik dalam sebuah goresan pena.
"Tanggal 9 februari 2023, pukul 02:04. Pasien Yang Jungwon, meninggal dunia."
Kedua lutut penopang beban itu tiba-tiba melemas di tempat. Tubuh merosot nyaris menyentuh lantai dingin ditangkap dengan sigap oleh Jake yang berada di sebelahnya. Buliran air mata pun turut berjatuhan bersamaan tanpa adanya suara.
Mendorong kecil kedua lengan Jake yang senantiasa menjaganya dari belakang—lelaki itu takut Jia kembali terjatuh—, tetapi terlepas juga menuruti kemauan empunya. Lantas, tungkai lemas itu terseok dengan lamban tertuju kepada sosok yang sebentar lagi hendak tertutupi kain tipis putih.
Gemetar tercipta menjalar pergerakan tangan Jia yang terulur patah-patah pada permukaan wajah pucat sang adik. Jemarinya menambatkan di pipi tirus Jungwon yang terbujur kaku tanpa adanya lagi senyuman seperti tiap kali Jia mencubit gemas pipi itu. Hanya dingin suhu tubuh menyapa menggantikan kehangatan biasanya.
Siku kirinya bertumpu di atas ranjang rumah sakit selagi ia mengikis jarak hingga keningnya menyatu dengan dahi Jungwon. Cairan bening menetes seolah perempuan berambut hitam legam itu mengharapkan keajaiban serupa seperti ketika ia menonton sebuah kejutan dalam dunia sinetron.
Sosok lelaki tersayangnya, adik terkasihnya, dan harta berharganya merupakan satu-satunya keluarga yang tersisa sebelum Jia mengetahui keberadaan ibu kandungnya.
Bagaikan mimpi buruk yang melebihi busuknya jalan takdir, Jia menganggap inilah detik-detik paling menyiksa di garis kehidupannya. Bahkan, ia pun sampai bingung mesti meluapkannya pada siapa atas kepergian nyawa berharga sang adik kecilnya.
Menyandarkan pelipis penuh air matanya di kepala Jungwon, tak luput pula tangan gemetar itu melingkari pemuda di pelukannya seolah enggan merelakan perpisahan yang sama sekali tidak menjumpai pikiran. Bibirnya menyebutkan nama sang adik berulangkali. "Jungwon, Yang Jungwon ...."
Sangat lirih sampai Jake nyaris menitikkan air mata akibat tersentuh akan pemandangan di depannya. Segera lelaki itu menggulir penglihatan dan melihat jejaka berahang tegas di sampingnya tidak mengeluarkan emosi, sekalipun itu ekspresi. Raut datar serta tatapan mata kosong yang tampak di sana.
Jake hendak membuka suara, tetapi lelaki itu membalikkan badan dan melangkah keluar dari ruangan tersebut. Mungkinkah Jay sedang menyembunyikan kesedihan atas kepergian Jungwon? Mendengar bahwa si Park kelahiran Seattle itu selaku teman baik Jia, pasti Jay juga dekat dengan Jungwon.
"Jangan tinggalin Kakak sendiri. Kakak takut," bisik Jia begitu pelan sembari menahan isak tangisnya.
Lalu, ia terkekeh miris mengingat kilasan ketika mati lampu menerjang malam hari di apartemennya dan mengatakan hal serupa seperti yang dikatakannya tadi. Jungwon akan mengejek serta menyebutnya manja lantaran meminta ditemani semalaman sebab Jia takut kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable; Park Sunghoon ✓
Teen Fiction"Whether it's obsession or love. I don't care." ©2021, by bobarel.