"Apa gak bisa cukup nerima anakmu aja?"
Jia meremas jari-jarinya yang bertumpu di atas pangkuan. Ia sedang meminta saran dan bantuan untuk keluar dari permasalahan yang sudah lelah dihadapi sendirian. Kadangkala ia bersikap acuh tak acuh terhadap masa lalu, tetapi yang terjadi justru luka itu timbul bersamaan dengan tangisnya yang pilu.
"Aku selalu merasa, Sunghoon bakal ngerayain kemenangan kalau misalkan aku nerima anak itu," gumam Jia tentang apa yang ada di isi kepala. Ia terbayang-bayang senyuman iblis Sunghoon ketika dirinya kalah.
Perlahan-lahan Heeseung meraih tangan Jia membuat sang empunya menoleh. Lelaki itu menautkan jari-jemari keduanya sebagaimana bentuk menenangkan, mirip perlakuannya dulu saat mereka masih memiliki hubungan.
"Berarti itu emang bagian dari tujuannya. Tapi kamu yang udah paham harus berjalan di arah kamu sendiri. Jangan karena kamu takut Sunghoon menang, kamu jadi melampiaskan ke anakmu. Ingat, yang salah itu Sunghoon, bukan anakmu."
"Berulangkali aku juga bilang begitu sama diriku sendiri, Kak. Tapi aku takut. Aku gak mau kembali lemah gara-gara anak itu." Jia terisak-isak sembari mencengkeram baju di bagian depan dadanya, ia merasakan sesak di sana.
"Enam tahun lalu, kenapa aku serahin anak itu ke Sunghoon? Karena aku gak mau apa yang aku punya bakal jadi ancaman. Aku ... aku udah cukup nyesel di masa lalu, sebab gagal ngelindungin adikku sendiri," ungkapnya tersendat akibat isakan yang mulai menyelimuti pernapasan.
Mengenai skinship, perempuan itu telah mencoba agar tidak seperti dulu. Empat tahun lamanya ia melakukan terapi dengan profesional, setelah dua tahun sebelumnya dilema dan hanya bisa menggenggam semua trauma-trauma tersebut.
Keinginan gila dalam menjebloskan Sunghoon ke jeruji besi telah memakan habis pikiran jernih. Selama mengenyam perguruan tinggi, Jia selalu menyempatkan bolak-balik ke kantor polisi untuk menyerahkan barang bukti yang dimiliki. Menurutnya, itu lebih dari cukup dapat menjatuhkan pidana penjara.
Respon pihak-pihak yang seharusnya melindungi rakyat kecil itu benar-benar menonjok harapan Jia. Sama seperti pertama kali ia mengirim bukti itu melalui email sebagai anonim, mereka tidak memedulikan. Padahal, butuh bermalam-malam Jia merenungkan keputusan tersebut.
Sampai ke lima belas kalinya ia mendatangi kantor polisi, lalu menceritakan kronologi mulai dari titik awal hingga akhir, yang ia terima justru cibiran.
"Kalau bukan atas dasar suka sama suka, kenapa kamu pertahanin anak itu?"
"Kamu datang ke sini cuman bawa bukti-bukti yang belum tentu bener kayak gini? Kamu yakin ini bukan editan?"
"Emang ada pemerkosa yang peduliin korbannya?"
"Kalau emang laki-laki itu memperkosa kamu, kenapa kamu biarin penjahat merawat anak itu?"
Saat itu Jia terus melawan, menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang membuat darahnya mendidih. Ia mengatakan jika Sunghoon pasti masih menyimpan video ketika sedang memperkosanya.
Juga, menjelaskan alasan mengapa ia menyerahkan Jiyu sepenuhnya kepada Sunghoon. Namun, tak disangka-sangka, ternyata semua itu disalahartikan oleh pihak kepolisian.
Satu perkataan yang paling tidak dapat Jia toleransi ialah, "Udah mendingan kamu ambil jalan damai aja. Gak perlu repot-repot datang ke sini lagi."
Bukan karena menyerah, apalagi berhati murah, tetapi karena amarah. Jia akhirnya berhenti mencari keadilan yang tidak disediakan untuknya di kantor polisi.
"Jia?" Heeseung menatap dengan sorot mata sayu. "Kamu mau ambil anak kamu dari Sunghoon?"
Perempuan itu menggelengkan kepala lemah. Ia tidak mengharapkan apapun, hanya mempunyai segenggam rasa penyesalan tatkala menjadikan anaknya seperti dirinya di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable; Park Sunghoon ✓
Teen Fiction"Whether it's obsession or love. I don't care." ©2021, by bobarel.