XXXVI

1.4K 187 63
                                    

Sunghoon pikir, ia pasti akan menemukan Jia di mana pun keberadaan perempuan itu. Siang malam, mengitari perkotaan yang dulu pernah disangka tidak sebesar perkiraan. Musim silih berganti menemani gundah gulana yang tak kunjung jumpa. Hati mendengus seolah menggerogoti tiap kali dilanda kenyataan pahit.

Terhitung empat bulan lebih berlalu. Eksistensi Jia masih belum diketahui. Sunghoon sempat masuk rumah sakit jiwa karena terus menerus berteriak kesetanan hingga menyebabkan keributan di gedung apartemennya.

Walaupun mendekam di sel rumah sakit jiwa kerusuhan masih berlanjut. Sampai-sampai sewaktu para perawat lalai, Sunghoon pernah dikeroyok oleh pasien gangguan jiwa lainnya hingga muntah darah dan banyak luka lebam tertinggal di tubuhnya akibat memancing amarah mereka.

Tubuh yang mulanya sehat bugar, kian mengalami perubahan yang agak mengkhawatirkan dalam waktu sesingkat itu.

Apapun hukumannya akan Sunghoon jalani, kecuali ini!

Lelaki pucat itu semakin memucat dengan kantung mata terhias begitu hitam. Ia terduduk dengan layu seperti pria tua. Otot-otot kuat di sekitar tubuh tiada lagi arti, sebagaimana ia hidup tanpa perempuan yang dicintai. Jangankan untuk merawat diri, makan pun enggan.

Kalau saja dokter yang dahulu bekerja untuk keluarganya tidak berpapasan saat malam itu, mungkin Sunghoon sudah kurus kering. Istri dari dokter ayahnya itu kini yang kerap kali membawakan makanan. Akan tetapi, tak ada satupun hidangan yang membuat Sunghoon berselera. Jadi, ia hanya mampu menghabiskan sekitar tiga sendok suap.

Ting tong!

Dengan sigap Sunghoon bangkit menghampiri pintu. Ia masih pantas disebut-sebut sebagai pasien rumah sakit jiwa lantaran sering mengira bahwa Jia yang datang menemui. Lelaki itu kerap kali berandai-andai kalau Jia akan membawa penyesalan sebab sudah meninggalkannya seorang diri.

Senyuman yang membalut wajah kusut itu meluntur seketika saat Sunghoon tak melihat eksistensi perempuan yang diharapkan. Tangannya hendak menutup kembali pintu sebelum suara rengekan menghentikan aksinya itu.

Sontak mata sayu Sunghoon terbelalak lebar mendapati sosok mungil berselimutkan kain tebal bermotif pinguin tergeletak di lantai depan pintu unit apartemennya. Ia perlahan membungkukkan badan tuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidak salah.

Jemarinya menyingkap tudung yang menutupi sosok mungil tersebut. Lantas, ia terperangah dalam diam. Itu seorang bayi! Benar-benar bayi baru lahir yang permukaan kulitnya masih berwarna merah.

Sunghoon menolehkan kepala ke penjuru lorong, barangkali ia menemukan pelaku yang dengan sembarang membuang bayi ini. Namun, nihil. Hanya kekosongan dan kesunyian yang ia tengok di sepanjang lorong hingga lift. Hatinya menjadi dongkol diliputi bumbu amarah. Kenapa mereka berani berbuat kalau pada akhirnya tega membuang bayi tak berdosa ini?

Kemudian, Sunghoon berjongkok seraya memerhatikan bayi merah yang tengah memandanginya dengan mata kantuk. Rengekan itu telah lenyap semenjak bayi itu beradu tatap bersama Sunghoon. Seperti ada ikatan batin antara mereka.

Semakin diperhatikan, semakin familiar dengan bentuk wajah mungil bayi tersebut. Tanpa Sunghoon sadari, bibirnya menggumamkan satu nama. "Jia."

Lelaki itu jadi teringat di mana kejadian saat Jia berkeinginan melenyapkan darah dagingnya. Berulangkali Sunghoon meminta perempuan itu untuk tak menyakiti bayi dalam kandungannya dan menyuruh Jia melampiaskan seluruh kemarahan pada dirinya.

Itu lebih baik. Karena Sunghoon tidak mau kehilangan anaknya. Apalagi dari seorang perempuan yang ia cinta.

Namun, empat bulan terakhir hingga detik ini ia tak bisa memantau apakah Jia masih berharap menghilangkan nyawa bayinya atau tidak.

Unstoppable; Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang