"Kamu mau Sunghoon masuk penjara, gak? Aku tau cara cepatnya."
Klik!
Sunghoon menyunggingkan senyum miring kala rekaman dengan suara si pesaing mengutarakan ingin menyingkirkannya. Terkekeh malas menatap tak minat pulpen yang menjadi media menyimpan data tersebut. Sejak subtansi berada di depan mata pun, lelaki berkulit pucat itu enggan menyentuh.
Nekat sekali mengusik ketenangan Sunghoon. Mulai dari berkeliaran di sekitar Jia, berlakon bagaikan sang perwira, memanipulasi daya pikir serta perasaan Jia, dan terakhir mengibarkan bendera perang padanya.
Entah, berapa jiwa yang sang musuh lenyapkan. Berapa ratus skenario kejam yang dirancang. Berapa puluh pertarungan yang diungguli. Semua itu tidak menggoyahkan nyali.
Oke, mungkin Sunghoon mengakui sempat lengah sebab banyak pasang mata manusia yang menjadi pengintai dadakan atas dasar perintah lelaki bermuka tebal itu; Jay. Namun, alarm di tubuhnya memperingati secara spontan. Kelalaian baginya hanya berlaku satu kali, itu awal dan akhir.
Siapa dia berani mencari perkara. Sepintar-pintarnya orang, mereka akan terkalahkan oleh sang peran utama dalam cerita, bukan?
Sunghoon memilih mengangkat minuman kopi panas yang dibelikan Jake. Menyeruput pelan dengan santai seolah rekaman bukanlah ancaman. "Apa caranya? Kenapa gak lo rekam sekalian?"
Ya, itu memang Jake. Lelaki berwajah tegas yang mungkin beberapa waktu ini masih perlu mengganggap Sunghoon sebagai teman. Ia telah memutar otak merakit sebuah trik menguntungkan yang diharapkan dapat mempercepat laju proses tuk menjerat kedua bajingan tersebut; baik Sunghoon maupun Jay. Dengan mengadu domba.
Jake berpura-pura pingsan saat Jay memukulnya. Cukup sakit menahan erangan akibat hantaman tiba-tiba, tetapi mengabadikan momen penting ialah tujuan utama. Didukung pula dengan ketidaktahuan Jia yang kalut, menguatkan persepsi bahwa Jake tidak sadarkan diri. Sedikit berterima kasih berkat sambutan hangat yang dilayangkan, Jake satu langkah lebih maju.
"Jay nyuruh Jia bersaksi di kepolisian kalau lo udah ngehamilin dia."
Sunghoon tertawa terbahak-bahak. Telapak tangannya beradu menimbulkan suara nyaring yang mengiringi tawanya. Ingin memukul meja, tapi masih memikirkan kopi yang baru setengah ia teguk. Takut tumpah dan terbuang sia-sia.
Bosan menunggu lelaki tak waras itu larut dalam tawa, Jake pun menyedot kopi dingin miliknya.
"Lo percaya kalau gue yang hamilin Jia?" Seketika minuman yang belum tertelan mencapai kerongkongan itu menyembur ke lantai apartemen Sunghoon membuat empunya mendecak sebal disertai kerlingan ekor mata yang menandakan permusuhan.
Buru-buru Jake mengelap sudut bibir. Dia bukan terkejut mengenai fakta yang barusan lelaki itu katakan, tetapi makna dari kalimat tersebut. Seakan-akan Sunghoon memberi clue bahwa ada orang lain yang memungkinkan menghamili Jia. Apa ada sesuatu yang tidak ia ketahui?
Tunggu. Sepertinya Jake melupakan satu bagian penting ketika sedang berakting pingsan. "Andai aja aku gak didiagnosis mandul. Mungkin sekarang anak yang ada di dalam perut kamu itu anak aku." Gotcha! Itu dia! Pasti lelaki itu juga telah melakukan hal buruk pada Jia. Karena kalau tidak, ada apa dengan ucapannya?
Mengamati kerutan di dahi Jake, lelaki putih di seberangnya terkekeh. "Ngomong apa aja dia? He spoke the truth about everything, didn't he?" Sunghoon mencomot pulpen berwarna merah perpaduan hitam itu. Membolak-balikkan layaknya mainan.
Kemudian, melanjutkan. "Dia selalu lepas topeng di depan Jia. Apalagi kalau lagi berdua."
Sialan, Sunghoon ingin menertawakan kata-katanya. Bukankah cocok dituju pada dirinya sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable; Park Sunghoon ✓
Teen Fiction"Whether it's obsession or love. I don't care." ©2021, by bobarel.