XXXIX

1.3K 158 76
                                    

Sunghoon tidak mendengar suara-suara dari dalam kamarnya, membuat ia menerka bahwa Jia memang sedang tertidur lelap. Semalaman ia hanya istirahat selama dua jam, selebihnya terjaga karena terpikirkan oleh perempuan yang dikuncinya dari luar.

Sudah masuk jam makan siang, Sunghoon bergegas menuju kamar putrinya. Berniat membangunkan, sebab ini tak seperti biasanya. Mungkin gadis itu terlalu kelelahan bermain saat di rumah Sunoo. Lagi pula, sekarang pekan hari, Sunghoon tidak mempermasalahkan kalau sesekali Jiyu bangun kesiangan.

Diketuk pelan pintu dengan sebuah gantungan ukiran bernama Jiyu's room sembari meminta izin. Begitu mendengar persetujuan dari pemilik kamar, Sunghoon melangkah masuk.

"Masih ngantuk, ya?" Sunghoon terduduk di tepi ranjang, tangannya mengusap surai halus Jiyu—satu-satunya yang tidak diselimuti.

Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya, Jiyu mengangkat kepalanya yang tenggelam di selimut besar. Sembab, matanya seolah habis menangis satu harian penuh.

Sunghoon cemas lekas merangkum wajah gemas putrinya. "Loh, Princess-nya Ayah kenapa? Ini kok abis nangis? Ada apa? Mau cerita sama Ayah?" tanyanya lembut menyebabkan bibir mungil itu berkedut ingin meloloskan isak lagi.

Jiyu menggeleng, menahan diri untuk tidak menangis. Ia masih membingungkan satu hal sejak malam. Kenapa bertahun-tahun lamanya Sunghoon tak mempertemukan dirinya dengan sang ibu? Pun, saat perempuan itu berada di bangunan yang sama.

"Jiyu laper," adu gadis cantik itu merangkak duduk di depan Sunghoon. Kemarin di rumah Sunoo, ia dibelikan banyak kue. Begitu waktunya makan, perut kecil Jiyu tidak menampung makanan. Alhasil, yang ia konsumsi hanyalah makanan-makanan penutup.

Segera Sunghoon membopong tubuh mungil itu berjalan keluar menuju ruang makan yang telah tersedia berbagai macam lauk-pauk di atas meja. Itu semua bukan masakan Sunghoon. Ia tidak terbiasa memasak lantaran memang tak pernah memiliki waktu untuk bergelut di dapur.

Dalam dekapan, Jiyu menyapu pandangan ke segala arah, terutama kamar ayahnya. Hanya keheningan yang ia dapatkan. Apa ibunya sudah pergi?

Jiyu didudukkan di kursi favoritnya. Ketika Sunghoon hendak melangkah pada kursi utama, sebuah lengan menahan. "Kenapa? Jiyu butuh apa?" tanya Sunghoon berjongkok di hadapan putri kecilnya yang seperti tengah meragukan sesuatu.

Jemari mungilnya menari-nari di pinggiran meja makan. Dengan takut-takut, ia mengutarakan isi pikirannya. "Ibu gak makan?"

Pertanyaan itu menyentak Sunghoon. "Ibu?" Ia berpura-pura santai, meskipun nyaris gontai.

Sunghoon menghela napas singkat tatkala mengikuti arah pandang Jiyu yang tertuju pada kamarnya—pintunya sedikit tampak dari arah dapur.

"Jiyu udah tau?" Gadis itu mengangguk terbata. Ia menyentuh punggung tangan Sunghoon, karena takut ayahnya marah besar akibat kelancangannya.

Raut wajah khas anak kecil terpatri di sana. Jiyu benar-benar memohon lewat ekspresi. Meminta dipertemukan dengan sosok yang telah melahirkannya.

Sejenak Sunghoon berkutat pada pikiran, sebelum akhirnya ia tersenyum manis. "Kalau gitu, Jiyu tunggu di sini. Ayah mau bangunin ibu dulu, oke?" Sontak gadis itu mengangguk antusias bersama sumringah yang merekah.

Dalam langkah kakinya yang membawa ke depan kamar, Sunghoon hanya berdoa supaya Jia bisa diajak kerjasama. Ia merogoh saku celana tempat menyimpan kunci. Lalu, memutar benda besi itu tatkala sudah tepat di lubang dan membukanya.

Unstoppable; Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang