XXIII

1.8K 221 75
                                    

Senyum menyebalkan yang menghias di paras tampan Sunghoon semakin merekah setelah mendapati amplop persegi panjang menampar wajahnya. Sungutan meledak menggelegar di sudut ruangan pun menimbulkan gemaan yang bahkan menurut Sunghoon tak mampu menggetarkannya.

"Gue gak butuh semua uang lo itu. Lebih baik lo buat foya-foya, sewa jalang sebanyak mungkin buat menuhin nafsu bejat lo!" berang Jia dengan raut memerah serta napas memburu yang tangannya turut mengepal di sisi tubuhnya.

Ingin sekali ia membunuh lelaki berjiwa iblis itu, tetapi Jungwon yang masih terbaring lemas di ranjang rumah sakit membuatnya mengurungkan niat tersebut. Jia tak ingin jika adiknya membuka mata, lelaki manis itu langsung mendengar kabar kalau kakaknya berada di jeruji besi akibat terjerumus kasus pembunuhan.

Menerima perlakuan berani dari perempuan yang cintai— ralat, obsesi tepatnya, Sunghoon hanya terkekeh kecil dan sedikit melirik telapak tangan kanan Jia yang dibalut perban seraya membungkukkan badannya guna meraih amplop berisi uang. Ya, ia memang belum mengintip isi dibalik amplop tersebut. Namun, Jia sempat mengatakan bahwa ia tak membutuhkan uangnya. Lantas, Sunghoon meyakini itu ialah uang yang ia gunakan untuk biaya rumah sakit Jungwon.

Tangannya menepuk-nepuk amplop di telapak sebelahnya. Netranya berbinar memandangi sosok perempuan yang rupanya begitu marah padanya. "Buat apa gue susah payah sewa jalang kalau gue sendiri punya jalang di sini?"

Jia tersentak kecil, tetapi mencoba bersikap tenang. "Biadab," umpatnya tanpa mengalihkan atensinya dari lelaki berkulit putih yang menatapnya dengan pandangan penuh minat beserta seringai tipis di bibirnya.

"Salah? Lo kan emang jalang gue, Yang Jia." Ditepisnya kasar lengan besar Sunghoon ketika mencoba membelai rambut panjang Jia. Dalam hatinya amarah yang menggebu meminta diluapkan itu terpaksa terpendam dan tertahan hanya karena ia takut salah melangkah.

Penolakan ketus secara terang-terangan itu memicu Sunghoon kembali mengeluarkan tawa ringannya. "Tangannya masih sakit?" tanyanya sok peduli menunjuk telapak tangan Jia dengan dagunya.

Sang empu malah membuang mukanya sembari berupaya meredakan getaran di kedua tangan dan tubuhnya yang tidak dapat ia kendalikan. Jia sangat ingin membunuh Sunghoon saat itu juga, sampai tak menyadari cairan bening meloloskan diri melalui pelupuk matanya. Darahnya mendidih hanya menunggu ia membuncahnya supaya terbebaskan akan hal yang selama ini menekannya.

Tanpa berpamitan, Jia meraih miniatur mobil yang dipajang indah di lemari rias terbuka dekat meja belakangnya menggunakan tangan gemetarnya. Kemudian, dalam jeda singkat, ia memukul pelipis Sunghoon yang bahkan masih terlihat membengkak karena ulahnya kemarin malam.

Iris mata berkaca-kaca Jia menangkap kentalnya cairan merah pekat mengalir lancar dari pelipis Sunghoon untuk yang kedua kalinya. Begitu pula dengan perban yang membungkus telapak tangannya, terdapat sobekan akibat pinggiran miniatur mobil yang nampak tajam disertai beberapa goresan kecil di sana.

Menyaksikan salah satu koleksi miniaturnya telah berantakan di lantai, napas Sunghoon memberat. Sorot matanya menyala dengan guratan tajam di leher putihnya. Tak memedulikan luka yang bisa saja infeksi jika tidak segera ditangani, Sunghoon bergerak mendorong tubuh Jia hingga menabrak dinding apartemen dan mencekiknya.

"Dari banyaknya miniatur mobil gue, kenapa lo ambil yang itu?!" bentak Sunghoon yang hanya terdengar samar-samar di telinga Jia sebab cekikan yang mengetat itu mengambil alih semua fungsi panca inderanya.

Dengan isak tangis yang tertekan di kerongkongan, Jia berusaha menjauhkan tangan Sunghoon yang bisa saja merenggut nyawanya dalam sepersekian detik. Pun, tubuh kecil nan kurusnya sedikit terangkat di dinding membuat pandangannya kabur seakan ingin pingsan.

Unstoppable; Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang