pecah

39 2 15
                                    

Farhan POV

Sudah 2 hari sejak kunjungan aku dan intan ke psikolog intan sama sekali tidak mau bicara denganku. Aku tidak mengerti alasan dari diamnya dia. Setiap pembicaraan hanya aku yang bicara, membuatku begitu frustasi menghadapinya.

Seperti pagi ini, aku mencoba mengajak dia jalan-jalan berdua. Namun tidak ada 1 katapun keluar dari mulutnya. Ingin marah? Tentu saja iya, namun aku sadar bahwa aku yang harus mengalah jika pernikahan ini ingin aku pertahankan. Karna intan diam seribu bahasa terhadapku, aku memutuskan untuk bekerja, mengurusi klien yang sedang aku tangani sambil mengurus pengunduran diri. Aku sudah memutuskan akan pulang dahulu ke bima selama beberapa bulan dengan intan. Ayah ibu intan pun sudah mengijinkan, ditambah pengurusan pemindahan kuliah intan sudah aku urus terlebih dahulu.

"Aku kerja ya, kamu kalo mau pergi nanti kunci aja, aku bawa kunci. Hati-hati dirumah ya." Ujarku sambil mengecup puncak rambutnya saat aku hendak pergi.

*************
Aku pulang kerja melihat intan duduk didapur dengan wajah sumringah melihat masakan di meja makan. Aku sedikit terkejut dengan sikapnya, aku melihat rumah rapih wangi. Begitu banyak pertanyaan di pikiranku tentang sikapnya. Aku menuju kamar, mengambil baju dan menuju kamar mandi untuk mandi. Setelah mandi, aku menuju dapur tempat intan duduk.

"Kamu kenapa? Kok rajin bener masak? Trus kayaknya bahagia banget?" Tanyaku penasaran.
"Gak papa." Jawabnya singkat.
"Ini gak dikasih racunkan?" Tanyaku sambil menunjuk masakan yang ada didepan intan, bukan aku berburuk sangka, cuma bisa saja intan membenci diriku dan ingin meracuniku.
"Apaan sih, gak lah, ayo makan bareng, biar kamu percaya." Ajaknya.

Malam ini aku sedikit terkejut dengan sikap intan. Terutama saat aku selesai mencuci piring bekas makan malam kami, dia sudah berada dikamar kami. Aku mengambil hp dan laptopku, berfikir untuk tidur dikamar sebelah. Saat aku akan keluar kamar, intan memanggil.

"Farhan, tidur sini aja, ngapain pindah. Kita udah nikah ini. Lagian aku kangen kamu. Kita bikin anak yuk."ujarnya sambil mendekatiku.
"Intan, kamu tidur aja, aku mau kerja dulu, sambil nyiapin data-data untuk persidangan minggu depan. Biar lusa kita bisa pulang kekampungku." Ujarku menolak.

Jika ditanya, siapa yang tidak mau bercinta dengan istri sendiri, cuma aku takut bekas keguguran kemarin akan terluka jika kami melakunannya. Intan semakin mendekatiku.

"Ayolah farhan. Aku kangen sentuhanmu" ujarnya nakal, berusaha menggodaku dengan meletakan tanganku diatas payudaranya yang cukup berisi.
"Nggak intan. Besok kita kedokter kontrol bekas keguguran kemaren, aku takut kalo kita lakuin nanti malah luka." Jelasku berharap intan akan mengerti.

Sejujurnya aku begitu sulit mengendalikan nafsuku saat ini, namun aku sadar akan kondisi intan. Aku melihat wajahnya agak murung saat aku menolaknya. Aku berusaha melepaskan diri darinya. Tiba-tiba intan menagis terisak-isak.

"Kamu gak sayang aku, bilang mau belajar mencintai aku dan menyayangiku. Tapi ini aja gak mau."ujarnya sambil merengek dilantai.
"Yaudh ayok, tapi oral aja ya?" Tawarku.
"Aku udah gak menarik buat farhan. Aku bilang mau punya anak lagi" ujarnya nangis.
"Intan, ngertiin kondisi aku lah." Ujarku mencoba memberi pengertian.
"Itu kamu udah membesar itu. Ayok sih, mas farhan." Ujarnya menggodaku
"Tapi kalo sakit bilang ya, biar besok kita kontrol." Ujarku sambil menarik intan dan meletakkan laptop dan hp dimeja sampin tempat tidur.

Malam ini, kami habiskan dengan menikmati kenikmatan dunia yang bercampur rasa rindu. Aku sadar, aku mulai mengerti perasaan intan.

*********************
Keesokan paginya

Pagi ini aku terbangun dengan intan dipelukanku. Aku tidak tahu jam berapa beristirahat semalam. Yang aku tahu, kami berdua benar-benar seperti orang kesetanan melakukannya. Aku melihat jam pukul 8 pagi, aku kesiangan untuk kerja, aku putuskan meminta ijin kekantor untuk membawa intan kontrol. Aku melihat intan masih tertidur pulas.

Aku mengambil pakaian kami yang berantakan dan menuju kamar mandi untuk mandi. Setelah mandi, aku melihat intan sudah bangun. Aku mendekatinya untuk mengajak dia ke dokter.

"Aku siapin sarapan, kamu mandi ya, biar abis itu kita kedokter kontrol." Ujarku sambil mengusap rambutnya.
"Gak usah kedokter, kamu kerja aja. Aku mau istirahat aja dirumah." Tolaknya, aku melihat matanya masih setengah mengantuk.
"Emang gak papa kamu? Aku takut kenapa-napa." Tanyaku khawatir. Sungguh aku menjadi agak berlebihan terhadap intan.
"Nggak papa. Kamu kerja aja. Aku ngantuk, mau tidur lagi ya." Pintanya. Aku mengangguk setuju.
"Istirahat ya sayang, aku siap-siap berangkat. Aku akan siapin sarapan di dapur ya." Ujarku sambil mencium keningnya saat akan beranjak pergi.

*****************
Selama dikantor aku mencari tahu melalui google tentang aman tidaknya tindakan kami semalam setelah yang intan alami. Entah mengapa aku merasa  begitu mengkhawatirkan kondisi intan saat ini. Mungkin rasa cinta itu mulai tumbuh, aku tidak tahu. Tiba-tiba dapat hpku berdering, aku melihat nomor tirta yang menghubungiku. Aku sedikit bingung mengapa tirta menghubungiku. Aku angkat telp dari tirta.

"Halo, dimana lo" ujarnya
"Dikantor, kenapa bro?" Tanyaku, aku mendengar suara tirta seperti orang yang panik.
"Bini lo dimana? Biar gw seret dia kekantor polisi" ucapnya membuatku bingung.
"Kenapa intan? Emang reyna kenapa?" Tanyaku.
"Bini gw shock dan ini lagi dirumah sakit pendarahan. Kata karyawannya reyna, intan datang, begitu intan pulang reyna teriak kesakitan pendarahan. Ini gw dirumah sakit, bawa bini lo kesini, biar gw masukin ke kantor polisi." Jelasnya marah.
"Gw yang akan menghajar intan, gak usah lo bawa kasus ini ke polisi. Gw  mohon, dia lagi gw terapi ke psikolog." Pintaku.
"Liatin aja kalo sampe kenapa napa reyna dan anak gw, gak cuma  ke kantor polisi, dia gw hajar." Ancamnya.
"Reyna pasti kuat bro, percaya sama gw. Gw janji ini terakhir kaliny intan berulah, gw akan ajarin dia buat gak barbar seperti ini." Ujarku.
"Kita liat aja nanti." Ujarnya sambil mematikan telpnya.

Aku segera merapikan pekerjaanku, aku menghubungi intan berkali-kali, namun tidak diangkat. Aku mencoba menghubungi tiara, mungkin intan bersama tiara. Aku bingung harus bersikap kepada intan. Siska bilang intan tidak bisa dikeraskan untuk sementara waktu, namun sikapnya begitu membuatku ingin marah.

Aku pulang kerumah, sepanjang perjalanan aku mencoba berfikir jernih untuk bersikap terhadap intan. Sesampai dirumah aku melihat intan sedang menonton film di laptopnya. Aku tidak berkata apapun, aku mengerjakan pekerjaanku secepat mungkin agar besok kami bisa berangkat ke bima.

"Besok kita ke bima ya, mama nyuruh pulang." Ujarku kepadanya.
"Gak jadi kontrol?" Ujarnya.
"Gak usah, kita kontrol dibima aja. Biar sekalian kamu refreshing." Jelasku. Dia mengangguk setuju.

Aku berharap reyna dan anaknya selamat. Semoga saja keputusanku ini cukup tepat. Semoga.

REYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang