_Masih lanjutan masa lalu Dafikah ya
.
.
.
.
.Dafikah menatap lurus ke depan. Tepatnya ke arah Alvin, papi nya yang mengelus puncak kepala Dafikah dengan sayang.
"Papi boleh aku tanya sesuatu?" tanya Dafikah.
"Tentu saja. Mau nanya apa?"
"Kenapa teman-temanku tidak ingin bermain denganku pi? Apa aku orang yang membosankan?" tanya Dafikah sedih. Alvin dengan cepat menggelengkan kepala nya tidak setuju.
"Kamu tidak membosankan sayang. Ada atau tidak ada teman itu sama saja. Yang membedakan hanya suasana. Bukan berarti kamu membosankan," ucap Alvin menjelaskan dengan pelan agar putrinya tidak bersedih.
"Tapi... Tidak ada satupun dari mereka yang ingin bermain denganku. Bahkan enam tahun aku sekolah, aku tetap sendirian," ucap Dafikah dengan airmata yang sudah menggenang. Enam tahun ia memakai seragam merah putih dan asik dengan ketenangannya. Tidak ada teman atau sahabat, hanya ada beberapa orang yang iri dan tidak suka melihatnya.
"Biarkan mereka yang tidak ingin berteman denganmu sayang, sebentar lagi kamu akan papi sekolahkan ke luar kota. Papi mau kamu sekolah di Jakarta. Gimana? Kamu mau?"
"Kenapa harus disana pi? Apalagi aku akan jadi siswa baru di Sekolah Menengah Pertama. Papi ngusir aku ya?" tanya Dafikah polos.
Alvin menepuk keningnya pasrah. Anaknya ini terlalu polos. Maksudnya bukan mengusir Dafikah, tapi ia sengaja mengikuti saran dari keponakannya, Gin. Gin mengatakan akan lebih baik jika Dafikah sekolah di kota besar seperti Jakarta. Mungkin karena terbiasa tertutup, tidak ada yang ingin mengajaknya bermain apalagi Dafikah juga tidak mengajak temannya berbicara sehingga terkesan... Sombong. Padahal aslinya Dafikah tidak tahu bagaimana cara mengajak seseorang untuk menjadi teman. Sedari kecil ruang lingkup bermain Dafikah hanya rumah.
"Bukan sayang, papi gak mungkin ngusir kamu dari rumah. Bukankah kamu mau punya teman? Kamu bisa punya teman disana. Papi akan memberikan kamu apartemen yang nyaman. Lalu saat libur sekolah papi akan jeput kamu untuk pulang," ucap Alvin berusaha menjelaskan agar putrinya paham.
Dafikah mengerutkan dahi nya bingung. Dia tidak paham ucapan papinya. Apartemen? Apa itu?
"Aku tetap sendirian pi, gak ada mami sama papi. Aku kesepian," ucap Dafikah mengeluh.
"Tidak akan sayang. Anak sahabat papi juga akan ikut sekolah yang sama denganmu. Kamu punya teman, kamu juga bisa ajak teman kamu nginap bareng di apartemen. Tapi, hanya cewek ya. Tidak boleh cowok!" ancam Alvin.
"Emm apartemen itu rumah ya pi?"
"Sejenis itulah," jawab Alvin karena percuma dijelaskan panjang lebar kalau Dafikah tetap tidak paham.
...
"Jadi kakak yang bilang sama papi untuk menyekolahkan aku ke Jakarta?" tanya Dafikah kepada Gin yang duduk di hadapannya. Gin mengangguk lalu memberikan sebuah kotak yang cukup nesar kepada Dafikah.
"Apa ini kak?" tanya Dafikah bingung.
"Buka dong, kalau cuma diliatin kamu gak bakal tahu isinya apa," ucap Gin dan dengan cepat Dafikah membuka kotak tersebut.
Dafikah terdiam dengan mata berbinar melihat isi dalam kotak di depannya.
"Ini dari kakak?" pekik Dafikah karena sangat senang melihat isi kotak tersebut.
"Hem dan ada juga dari kak Saint. Kami berdua tidak sabar melihat kamu pakai ini semua Pii," ucap Gin mencubit kedua pipi Dafikah dengan gemas. Dafikah mempoutkan bibirnya lucu. Pipi berisi nya sudah memerah bekas cubitan sayang dari kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend?
Ficção Adolescente(Jangan lupa follow dulu) Kisah 4 sekawan yang katanya teman dekat. Hingga menjadi gang dengan nama Dandelion Girl. Tahu arti dari nama gang tersebut? Masa lalu mereka yang berbeda hingga perseteruan yang membuat pertemanan mereka hancur. Siapa...