Prolog: Pernikahan yang Tidak Diinginkan

779 31 1
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya, Sandra Amirah Soeroso binti Hamzah Afif Soeroso dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Suara berat seorang pria mengalun lantang bersamaan dengan helaan napas leganya yang terdengar di telinga tamu undangan yang hadir di taman salah satu hotel di perbukitan sore itu.

"Bagaimana saksi?" Sang penghulu yang melihat jabatan tangan antara mempelai pria dan sang wali nikah pun lantas menoleh menatap kedua saksi yang kini menganggukkan kepalanya tegas.

"Sah!" Ucap keduanya hampir bersamaan. Membuat seluruh tamu undangan mengucap syukur yang menggema terbang mewarnai langit jingga yang terlihat indah—seakan ikut senang menyaksikan proses sakral yang dinanti-nanti.

"Alhamdulillah." Sang penghulu lantas merapalkan doa yang kemudian diiaminkan oleh yang lain. Semuanya nampak khusyuk tak terkecuali. Termasuk sang mempelai wanita yang tengah menahan gejolak air matanya yang telah menumpuk di pelupuk mata. Kepalanya menunduk dalam menghadap kedua tangannya yang menengadah rendah. Ketika doa selesai dibacakan, cepat-cepat ia mengusap air matanya dengan tisu yang telah ia siapkan sebelumnya—tahu pasti bahwa ia akan menangis menghadapi momennya.

Di samping kirinya—sang sahabat—meremas tangannya pelan, seakan ikut memberikan kekuatan melalui sentuhan yang diberikan. "Bahagia terus ya. Harus!" Bisiknya dengan suara sengak akibat ikut menangis menyaksikan prosesi akad sang sahabat karib. Di samping kanannya pula turut duduk sang ibu mertua yang kini mencoba memasangkan cincin emas pada jemarinya lalu memeluk dan mengelus punggungnya penuh sayang. Momen tersebut tidak berlangsung lama karena sang ayahanda, Hamzah Soeroso, telah berdiri di hadapannya—hendak mengantarkannya kepada sosok suami yang kini ikut berdiri menghadapnya dari jarak yang lumayan jauh.

Kepalanya sempat menunduk sebelum ia meraih tangan keriput sang ayah dengan gemetar, membuat Hamzah langsung menggenggamnya erat sebagai penopang sang putri.

"Ayah." Panggilnya lirih dengan tangis yang kembali mengalir. Mata berairnya yang berhadapan dengan mata sendu sang ayah membuatnya kembali meneteskan air mata yang tidak ada habisnya. "Adek nggak mau ninggalin Ayah sendirian." Adunya, membuat hati Hamzah mendadak pilu.

"Shhh." Tenangnya dengan ibu jari yang tidak berhenti mengelus punggung tangan Sandra yang masih gemetar. "No, jangan gini ya, Dek." Ia bergerak memeluk tubuh sang anak, membuat tamu undangan yang melihat ikut tersentuh termasuk sang suami yang telah berkaca-kaca. "Ayah tetap di sini, Sandra masih punya rumah untuk pulang." Perlahan, ia melepaskan pelukannya dan menangkup pipi sang anak. "Baik-baik ya, Nak." Ia daratkan sebuah kecupan penuh kasih pada dahi sang putri tercinta. Mengundang tangisan Sandra yang semakin menjadi. Tidak terlalu keras, namun cukup jelas di telinga Hamzah. Terdengar memilukan.

"Udahan nangisnya ah, malu. Mana lagi di-shooting. Jelek nanti gambarnya." Canda Hamzah mencoba merubah suasana hati Sandra yang kini masih menangis, tidak terpengaruh dengan candaan basi sang ayah. "Ayo, Ayah antar Adek ke Mas Bagas."

Netra hitamnya kemudian teralih kepada sosok tinggi dengan bahu lebar tersebut. Sore ini, pria itu terlihat menawan dalam balutan setelan berwarna earthy tone—coklatdipadu kemeja putih dan dasi motif.

Mata sipit pria itu yang tidak terhalang kacamata kini bersitatap dengan matanya. Menimbulkan efek setruman tidak biasa yang membuat hatinya berdetak kencang.

Sandra paham. Paham sekali. Hanya karena suasana romantis dan hangat yang dibangun, tidak semerta-merta membuat Sandra terbang ke langit hanya dengan tatapan mereka. Sandra paham betul bahwa ini adalah ulah otaknya yang seakan-akan meromantisasi segala hal yang terjadi saat ini. Seakan-akan ia tengah menikahi pria yang dicinta. Namun nyatanya tidak begitu.

Pikiran kosongnya yang menjalar kemana-mana membuat wanita itu tidak sadar bahwa kini ia telah berdiri tepat di hadapan Bagas yang menatapnya penuh haru, tidak jauh beda dengan sang ayah.

"Mas Bagas." Panggil Hamzah. Membuat yang dipanggil menoleh, ditambah sang mempelai wanita tersadar dari pikiran kosongnya lalu ikut menatap ayahnya.

"Iya Ayah?" Balas Bagas lembut. Sandra yang mendengarmya pun ikut berdesir karena mendapati perlakuan pria itu yang selalu lemah lembut kepada ayahnya.

"Jaga Sandra. Jaga satu-satunya permata saya dengan baik. Jangan kamu sakiti dia, apalagi sampai menangis. Saya percaya sama kamu."

"Iya Ayah." Jawab Bagas tegas yang terdengar menenangkan. "Saya akan menjaga putri Ayah dengan baik. Terima kasih sudah percaya ke saya."

Hamzah mengangguk puas dengan mata yang semakin mendung. Ia pun lantas menepuk lengan atas sang menantu sebelum akhirnya kembali menatap sang buah hati. Entah kenapa, di matanya, Sandra hanyalah sosok anak kecil di usia tujuh tahun yang masih merengek meminta mainan kepadanya atau bercerita tentang hari yang dilaluinya di sekolah. Anaknya nampak begitu polos dan lugu. Namun kini ia harus menyerahkannya kepada pria lain yang mau tidak mau ia serahkan tanggung jawab atas sang anak semata wayang walaupun dengan berat hati.

"Ayah balik ya."

Tidak sanggup membalas perkataan sang ayah, Sandra hanya mengangguk kecil sembari menunduk menahan tangis. Setelahnya, dengan berat hati, wanita itu meraih tangan sang suami yang baru saja mengucapkan akad di hadapan semua orang tersebut untuk dicium sebagai bentuk penghormatan. Hanya sekilas, kemudian ia segera melepaskan genggamannya pada tangan yang telah terbalut cincin perak itu. Selanjutnya, Bagas mencoba menangkup kedua rahang Sandra—yang masih setia menatap tanah—dengan lembut untuk dicium dahinya.

"Assalamualaikum, istriku." Bisiknya sembari mencoba untuk kembali bersitatap dengan netra sang istri yang terus menghindar.

Ketika ciuman diberikan di dahinya, jujur saja secara refleks rasanya Sandra ingin menggerakkan tangannya untuk menghapus jejak bibir pria itu. Hatinya masih tidak rela, namun kesadarannya hadir secepat kilat, menahan tangannya yang telah bergerak walaupun tidak sampai seinci.

Dengan perasaan tidak rela bercampur dengan rasa sedih, Sandra memejamkan matanya—guna menghindari mata Bagas yang tengah mencoba menatapnya—dan membalas salam dari pria itu. "Waalaikumsalam." Ucapnya singkat dengan suara bergetar.

Semua orang bisa saja menatap keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai. Sosok adam dengan kriteria idaman dan rupa menawan. Begitu pula sang hawa yang terlihat elok dalam riasan sederhana dan sifatnya yang ceria. Dipersatukan melalui akad yang mengikat, didukung dengan suasana romantis yang membuatnya semakin magical. Seperti cerita romantis yang berakhir bahagia.

Namun, hati siapa yang tahu?

Sandra tidak pernah menginginkan pernikahan ini.

Dan Bagas Reksa Adiguna tetaplah berusaha memperjuangkan kisah cintanya yang tidak kunjung terbalas.

Flowerchildri
2022

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang