"Sandra di mana Mak?" Bagas tengah melepaskan jaketnya kala Mak Ani menyambut kedatangannya sepulang kerja. Masih dengan tas yang tersampir di bahu kiri dan jaket berlogo kantor yang ia bawa di tangan kanan, matanya menyapu area yang terjangkau di lantai satu.
Wanita paruh baya itu terlihat telah memakai cardigan rajutnya dan bersiap untuk pulang. "Tadi keluar Pak dijemput temennya yang kemarin ke sini, Mbak Arin." Balas Mak Ani sedikit takut-takut.
Bagas lantas mengernyitkan alis. "Nggak bilang mau ke mana?" Tanyanya khawatir yang mana mendapatkan respon agar menyuruh pria itu untuk tenang.
"Tadi habis nganterin Bapak kerja, Ibu ndak keluar sama sekali. Terus tiba-tiba si Ibu keluar, ketemu sama Mak bilangnya nemenin Mbak Arin sebentar."
"Mereka keluar jam berapa Mak?"
"Siang Pak. Sebelum ashar."
"Astaghfirullah." Bagas menggeleng kecil sembari memijat pelipisnya. Baru lima hari menikah, Sandra sudah membuat kepalanya pusing saja. Apa istrinya itu tidak memikirkan fakta bahwa Bagas sangat khawatir? Setidaknya beritahu Bagas melalui pesan singkat yang terkesan tidak niat seperti biasa, itu jauh lebih baik daripada main pergi begitu saja.
"Coba ditelepon Pak." Mak Ani memberi saran.
Pria itu lantas segera menarik ponselnya dari saku celana kiri. Membuka aplikasi pesan dan menekan logo telepon di sudut atas ruang pesannya dengan sang istri. Setelahnya, ia menempelkan ponsel tersebut ke arah telinga. Sembari menunggu deringan terangkat, baik Bagas dan Mak Ani sama-sama menunjukkan raut khawatir.
Panggilannya tak kunjung diangkat, namun sayup-sayup suara dering ponsel dapat mereka dengar dari lantai atas sangking lengangnya suasana rumah sore ini. Keduanya sontak menatap satu sama lain. Bagas pun mematikan panggilannya lalu membuang napas kasar. "Hapenya ditinggal Mak."
"Ditunggu aja ya Pak? Mau Mak buatin teh anget?" Tangan keriputnya mengelus lengan Bagas dengan penuh ketulusan, ikut sedih melihat kondisi sang tuan.
"Nggak usah Mak." Bagas menggeleng lemah sembari memaksakan senyum. "Mak Ani pulang aja. Nggak apa-apa, udah sore ini."
"Beneran Pak?"
"Beneran. Nggak apa-apa."
Mak Ani jelas nampak ragu meninggalkan Bagas yang nampak begitu kebingungan mempertanyakan dimana lokasi sang istri.
Mungkin di mata sebagian orang, hal ini nampak sepele. 'Nanti juga pasti balik, nggak usah dipikir pusinglah' begitu pikir sebagian orang.
Namun Mak Ani paham betapa Bagas selalu menjaga semua yang dikasih sebegitu dalam. Mak Ani paham bahwa Bagas ingin menjadi yang pertama mengetahui keadaan sang istri. Mak Ani paham bahwa Bagas ingin membangun suasana penuh kepercayaan dalam rumah tangganya. Maka dengan perginya Sandra tanpa pamit, Mak Ani paham bahwa Bagas kecewa.
Menatap iba, Mak Ani mengangguk kecil. "Yaudah Pak. Mak pulang dulu ya. Kalau Ibu udah sampai rumah, tolong Mak juga dikasih tau ya Pak. Mak khawatir juga soalnya."
"Iya, Mak." Tangannya pun kini mengeluarkan dompet dari saku celana belakang. Mengambil dua lembar lima puluh ribuan lalu menyerahkannya kepada Mak Ani sebagai bayaran hari ini. "Makasih ya Mak."
"Mak juga makasih Pak." Wanita itu menerima bayarannya dengan sungkan. Lalu Bagas mengantarkan kepergian sang asisten sampai sepeda kayuhya tak lagi terlihat dari tempatnya berdiri.
Setelahnya, pria itu menutup pintu utama. Menatap kosong suasana rumah yang gelap, lalu bergerak menuju lantai dua. Kala kakinya menginjak anak tangga terakhir, ia menghentikan langkah sejenak. Menatap pintu kamar yang berada di sudut—pintu kamar sang istri—yang terbuka sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Propinquity Effect: Bittersweet
FanficTidak pernah terbayang di kala usia Sandra Amirah uang menginjak 21 tahun bahwa ia akan menikah. Bagas Adiguna hanya seorang biasa, murid sang ayahanda, yang kebetulan sering datang; yang kebetulan menjadi kesayangan ayahnya; yang kebetulan menaruh...