23. Rasa Takut

123 12 0
                                    

Bagas tidak tau apa yang lebih menakutkan; Sandra yang diam-diam menangisi pernikahan mereka di awal rumah tangga atau Sandra yang kini duduk membungkuk sembari menutup telinganya.

Bagas baru saja menginjakkan kaki di area ruang bersalin Rumah Sakit Bakti Husada namun pemandangan Sandra di depan sana membuatnya perlahan menghentikan langkah. Otaknya masih mencoba untuk memproses pemandangan istrinya di depan sana ketika matanya menangkap punggung Sandra yang naik turun—bergetar. Tanpa banyak bicara, ia melangkah lebar mendekati sosoknya. Perasaannya sungguh dipenuhi rasa khawatir. Ada apa gerangan?

"Dek?" Bagas meletakkan satu tas berukuran sedang berisi makanan untuk Sofian dan Hana di sebelah tas besar berisi pakaian milik tetangga mereka lalu berlutut menghadap istrinya. "Dek Ayu? Hei, Mas di sini." Matanya berusaha mencari wajah Sandra di balik rambutnya yang telah terurai—menutupi sebagian wajah wanita itu. Tangannya bergerak menyingkirkan helaian rambut hanya untuk mendapati wanita itu yang tengah menjambaki rambutnya sendiri sembari menutup telinganya. Ia semakin panik, Sandra menyakiti dirinya sendiri.

"Lepas Sayang. Jangan dijambak rambutnya! Sandra..." Ia berusaha keras melepaskan tarikan wanita itu pada rambutnya sendiri. Teriakan Hana yang terdengar dari dalam kamar membuat Sandra semakin menutup telinganya. Tenaga dibalas tenaga, Bagas tidak bisa.

"Lampiasin ke Mas, San! Hei!" Ia menggenggam kedua tangan Sandra yang masih setia menutupi telinganya sembari menarik helaian rambut dengan keras. Ia kemudian membawa tubuh istrinya ke dalam sebuah pelukan, bibirnya membisikkan kalimat-kalimat penenang—berharap agar istrinya berhenti melukai diri sendiri. "Mas di sini, Dek Ayu. Tenang ya. Dilepas jambakannya."

"Fokus dengerin suara Mas, Dek Ayuku."

"Mas sama Dek Ayu. Lepas Dek."

"I'm here."

Hatinya dapat bernapas lega karena cengkraman wanita itu pada rambutnya sendiri perlahan mengendor. Tangannya kemudian dengan sigap meraih kedua tangan Sandra—mencegah wanita itu agar tidak mengulangi perbuatannya. Namun suara rintihan Hana kembali terdengar, membuat Sandra semakin mencari celah pada dadanya. Tangannya meremas tangan Bagas.

"Ayo pulang...aku nggak mau di sini." Bisik Sandra ketakutan. "Mau pulang."

Bak kaset rusak, Sandra tidak berhenti membisikkan keinginannya. Ia sungguh ingin segera pergi dari tempat mereka saat ini.

Bagas lantas bergerak mengelus punggung Sandra—bermaksud menenangkan istrinya. "Iya, kita pulang ya. Dek Ayu tunggu sebentar lagi ya? Bisa? Mas mau ketemu Pak Sofian dulu buat ngasih kunci rumah sama makanan."

"Masss. Pulang." Rengeknya. Sungguh membuat Bagas terjebak oleh situasi. Ia tidak bisa pulang begitu saja dan menelantarkan makanan serta kunci rumah tetangga mereka. Namun di satu sisi, ia ingin segera membawa pergi istrinya. Wanita itu ketakutan, Bagas harus segera bertindak.

Dan sepertinya situasi mendukung Bagas saat ini. Pintu kamar bersalin terbuka dan Sofian keluar dari sana dengan peluh membasahi wajah dan pakaiannya. Pria yang tengah menyambut kelahiran anak pertamanya itu lantas sedikit kebingungan melihat situasi Bagas dan Sandra.

"Bentar ya." Bisik Bagas yang diangguki Sandra tanpa mengubah posisinya sama sekali. Pria berkaca mata itu berdiri dan mendekati Sofian yang masih clueless bercampur panik. "Pak, ini kunci rumahnya ya. Pagar juga sudah saya tutup. Gimana kondisi Bu Hana?"

"Makasih banyak Mas Bagas." Sofian lantas menerima kunci dari tangan Bagas lalu memasukkannya ke dalam saku celana sweatpants hitamnya. "Masih pembukaan delapan, Mas. Kata dokter, sekitar satu atau dua jam lagi. Bisa maju juga. Sekarang lagi kontraksi hebat." Matanya kemudian melirik Sandra yang menunduk dan berpangku wajah. "Mbak Sandra sakit Mas?"

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang