Warning: mature—be wise.
(Yang kurang nyaman bisa skip bagian kedua cerita)"Kemaren Bagas nyinggung tentang anak, Rin."
Raut khawatir tergambar di wajah Arin. "Kamu nggak apa-apa?" Tangannya bergerak ke depan guna menggenggam tangan Sandra dan memberikan remasan lembut.
Sandra tersenyum kecil dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Matanya menatap genggaman tangan mereka sebelum tertawa pelan. "I'm fine. Mas Bagas tanya begitu juga karena nggak tau alasanku kenapa mau menunda punya anak."
"Dia ngomong apa?"
"Kemaren aku cerita tentang Kinan, terus aku bilang tuh kalau aku agak susah menghadapi anak kecil. Akhirnya Mas Bagas tanya deh apa aku menunda punya anak karena nggak suka anak kecil." Sandra bercerita dengan begitu santai seakan-akan hatinya malam itu tidak berdebar kencang karena emosi dan rasa takut yang berlomba-lomba mengisi pikirannya.
"Ck. Kamu kalau mau marah, marah aja kali San! Asal ngomong aja si Om!"
"Dia nggak tau apa-apa Rin. Mana bisa aku marahin dia di saat aku yang belum siap terbuka. It's not fair."
Mendengar alasan Sandra, Arin tidak jadi marah. Ia berakhir mengangguk menyetujui kalimat bijak sang sahabat. "Yeah, you have some points."
Layar ponsel Sandra menyala, sebuah notifikasi pesan masuk. Walaupun tangan Sandra yang tengah memotong kue cokelat itu tak berhenti. Ia pun meraih ponselnya dengan tangan yang kosong.
"Siapa? Si Om?"
"Heum." Sandra mengangguk. "Palingan dia nanya aku sudah makan siang apa belum."
Bagas
Dek, what about 1 day & night di Shangrila Sabtu ini?Sandra seketika melotot melihat pesan yang baru saja masuk dari Bagas. Sendok berisi kue cokelat yang hendak masuk ke mulut pun ditarik kembali. Jika ini dunia kartun, mungkin sebuah tanda tanya besar akan terlihat di atas kepala Sandra sebab rasa bingung yang luar biasa.
Siang siang, bukannya mengirimi pesan seperti biasa—menanyakan 'kamu sudah makan belum?' Atau 'kamu makan apa?'—ini malah ngajak check in. Seperti bukan Bagas. Setan mana yang merasuki tubuh suaminya?
"Kenaposee?" Arin yang melihat Sandra membeku di tempat sedikit khawatir. Takut-takut malah Sandra mendadak kesurupan. Kan tidak lucu. Apalagi melihat mata Sandra yang membulat seakan-akan bola matanya hendak meloncat keluar. "Oi! Kenapa sih?! Jangan bikin kepo dong!" Arin bahkan sampai harus menjulurkan kepala ke arah ponsel Sandra. Namun terasa sia-sia karena wanita dengan balutan gaun berwarna merah muda itu terlebih dahulu menjauhkan layar ponselnya dari jangkauan sang sahabat.
Arin berdecak. "Ck! Elah. Gini amat punya temen." Dongkol, ia pun meraih gelas kaca berisi chocolate milkshake dan meminumnya sembari mendengus kesal.
Melihat Arin yang merajuk kesal karena merasa dikhianati dengan slogan persahabatan mereka yang mengedepankan sifat terbuka dengan satu sama lain, Sandra mendecih. How old is she? She is acting like a five.
Sandra menarik napasnya sebelum membuka suara. "Si Om ngajak check in." Jawab Sandra tenang namun sayang, suaranya terdengar keras.
Membuat suasana meja di sekitar mereka mendadak hening dan kompak melempar pandangan aneh ke arah Sandra yang sialnya berdandan sedikit heboh dengan bibir merah mencolok. Seperti...situasi sangat mendukung Sandra untuk terlihat seperti simpanan seseorang.
Oh, Arin tidak suka suasana ini! Anehnya, Sandra nampak tidak peduli jika beberapa gadis remaja yang duduk di meja sebelah mereka melemparkan pandangan penuh penilaian ke arahnya. Sadarkah Sandra bahwa ia terdengar seperti seorang ani-ani sekarang di saat wanita itu membicarakan tentang suaminya sendiri?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Propinquity Effect: Bittersweet
FanficTidak pernah terbayang di kala usia Sandra Amirah uang menginjak 21 tahun bahwa ia akan menikah. Bagas Adiguna hanya seorang biasa, murid sang ayahanda, yang kebetulan sering datang; yang kebetulan menjadi kesayangan ayahnya; yang kebetulan menaruh...