"You ini kenapose?" Arin mengaduk frappucinonya, mencoba mencampur whiped cream dengan minuman di bawahnya. Walaupun terlihat aneh, namun Arin terbiasa seperti itu. Mata besar wanita itu pun menatap Sandra yang kini terlihat memiliki begitu banyak masalah hidup. "Suami you kasian banget. I kira you nggak bakal secuek itu sama dese. Taunya udah kaya istri-istri di Indosiar."
"Is Arin!" Decak Sandra sebal mendengarkan hinaan sang sahabat. "Kemarin-kemarin aku nggak secuek itu ya!" Belanya dengan muka memerah malu karena aksi durhakanya disaksikan oleh sang sahabat. Ia mengalihkan pandangan, menatap jendela luar di mana orang lalu lalang dapat tertangkap matanya.
"Ya...cerita coba. You lagi ada masalah apa? Cerita sini. Kasihan banget, kayanya hidupmu menyedihkan. Apalagi setelah nikah." Ejeknya. Yang lagi-lagi sukses membuat Sandra semakin kesal.
"Nggak tau ya Rin..." Melupakan rasa kesalnya, Sandra beralih menampilkan raut sedih. Wajahnya menunduk dengan jemarinya yang menggambar pola abstrak di atas meja kayu di antara mereka itu.
"Aku kepikiran sama omongannya tetangga pagi ini. Ya sebenernya basic sih, tapi berhasil buat aku jadi nggak percaya diri." Keluhnya. Mengundang sebuah remasan lembut pada tangan kanannya.
"What happenned?" Tanyanya khawatir.
"Biasalah, tetangga julid." Sandra terkekeh, memilih untuk merahasiakan kalimat yang sukses membuatnya sakit hati itu.
"Ih kenapa sih? Cerita San. Biar aku juga bisa bantu menghujat itu tetangga julid!"
Sontak tawa Sandra semakin kencang. Mendengar dukungan menggebu datang dari sang sahabat, mampu menghibur hatinya.
"Ya...karena aku ngga kuliah." Ucapnya pelan sembari memaksakan senyum. "Nikah di usia muda. Terus suamiku Mas Bagas, yang katanya paling diincer buat dijadiin mantu."
"Ya Tuhan...orang-orang ada masalah hidup apasih?!" Ikut tersulut emosi, Arin menunjukkan raut kesal. "Nggak usah dipikirin San. Orang-orang kaya gitu biasanya rumah tangganya nggak bahagia!"
"Hush Arin!" Sandra terkekeh.
"Ya habisnya kaya nggak ada hal lain aja yang diurus. Kok malah ngejelekin orang lain."
"Ya gimana Rin. Kita nggak bisa ngontrol omongan orang lain." Dalam hati ia begitu bangga akan sikapnya yang terdengar begitu bijaksana.
"Sok bener dah." Arin lantas merotasikan bola matanya. "Terus karena dengerin omongan itu, kamu jadi memprojeksikan rasa keselmu itu sama Mas Bagas?"
"Iya sih, nggak juga." Iya mengangguk namun dengan cepat menggeleng. Mengundang dengusan Arin. "Ada hal lain juga sebenernya. Ini juga bukan salah Mas Bagas. Cuma...otakku ngelimpahin semua rasa marahku ke dia."
"I see, it's okay. Ceritain masalahmu ke aku, San. I'm here for you." Kini tangannya bergerak mendorong gelas minuman Sandra yang tidak berkurang sama sekali. "Diminum dulu. Biar tenang. Percuma pesen teh ala-ala estetik kalau dianggurin."
"Ck, Arin kebiasaan banget deh." Meraih gelas plastik tersebut dengan sedikit kasar, Sandra lalu meneguk isinya sedikit. Rasa manis sedikit getir itu menyapa lidahnya. Namun anehnya, Sandra sedkit tenang. Mungkin efek mindset-nya yang membuatnya tenang setelah meminum teh. Setelah merasa siap, ia kembali membuka suara. "So...there's this guy."
"Huh? A guy?" Tanyanya dengan raut bingung.
"Iya." Angguknya pelan. "Kalau inget dia, rasanya aneh. Tapi clearly aku ada rasa nggak suka sama dia."
"Oh wait, wait. Hold on. Ini kita ngomongin apa sih? Kamu nggak pernah bahas ini sebelumnya. Who is this guy?"
"Dia yang pindah ke toko sebelah toko kueku. Studio gitu, juga florist."

KAMU SEDANG MEMBACA
Propinquity Effect: Bittersweet
FanfictionTidak pernah terbayang di kala usia Sandra Amirah uang menginjak 21 tahun bahwa ia akan menikah. Bagas Adiguna hanya seorang biasa, murid sang ayahanda, yang kebetulan sering datang; yang kebetulan menjadi kesayangan ayahnya; yang kebetulan menaruh...