26. Mengungkap Alsasan; Keterbukaan

83 8 0
                                    

Bagas mengerjap heran kala melihat sebuket babybreath—yang ia ketahui adalah bunga favorit Sandra—berada dalam genggaman wanita itu. Ditatapnya sang istri begitu lamat, menunggu sosoknya berjalan mendekat dari arah pintu kafe sembari tersenyum malu-malu karena dipandangi begitu lekat.

Sesaat setelah Sandra menghentikan langlah tepat di depan sosok tinggi Bagas, pemuda itu menyambutnya dengan sebuah pertanyaan, "Dari...siapa?"

Sandra dapat menyadari bahwa pria itu sungguh memiliki rasa penasaran yang tinggi namun tetap berhati-hati dengan intonasi bicaranya, takut jika Sandra mungkin merasa dicurigai. Ia memahami bagaimana rasa penasaran Bagas mengisi benaknya terutama sejak bunga tanpa inisial pengirim—yang ia tau jelas siapa pengirimnya itu—tiba di rumah mereka beberapa hari lalu. Bunuh diri namanya jika Sandra memberi tau siapa pengirim bunga tersebut, alhasil Arin menjadi kambing hitamnya sekali lagi.

"Aku beli sendiri." Jawab Sandra tenang, berusaha meredakan kekhawatiran Bagas yang sungguh terlihat kentara. Telapak tangannya mengelus lembut lengan atas Bagas, "Bunganya cantik, Mas. Gara-gara Mas kemarin masukin bunganya ke dalam vas, aku jadi suka bunga segar di rumah kita. It does freshen up our home."

Senyum lega pria itu terbit, seiring dengan hembusan napasnya yang ringan. Air mukanya terlihat lebih cerah setelah mendengar kalimat Sandra. "Oh really? Mas perhatiin, kamu suka babybreath, don't you?" Tanyanya dengan berusaha menggenggam tangan Sandra yang semula mengelus lembut lengannya. Ia menuntun sang istri memasuki mobil mereka.

"In fact, I do. I love them. Kamu yang milih bunga ini buat aku, Mas. Kamu nggak inget?" Sandra terkekeh ketika memori akan Bagas yang memberikan sebuah buket yang pertama kali untuknya terputar dalam ingatan.

Bagas tersenyum samar. "Bukan aku yang milih, San. The florist did." Diraihnya sabuk pengaman dan mengyilangkannya di depan tubuh sang istri. "He is so good."

Sandra mengusap rahang Bagas sembari menatap mata di balik kacamata itu dengan lamat. Oh, he is so nerd and naive, and somehow Sandra likes it. "But, it didn't change the fact that you were thinking of me and gave me the bouquet with that awkward smile of yours. It did count."

Dapat Sandra lihat bahwa telinga Bagas perlahan memerah, menandakan bahwa sosoknya merasa malu mendengar kalimatnya. Bagas berdeham sejenak sembari menunduk sebelum memiliki keberanian membalas ucapan Sandra. "Should I buy you flowers more frequently? Kasih tau aku cara menjadi pria romantis yang kamu suka, Dek."

"Ouh, I love the spirit." Puji Sandra yang dibalas kekehan geli Bagas yang sesaat setelahnya berlari kecil memutari mobil menuju kursi pengemudi. Matanya memperhatikan figur samping wajah Bagas dengan serius sebelum pada akhirnya seutas senyum menghiasi wajah Sandra. "Jujur aja, Mas. Aku nggak pernah membayangkan kamu jadi sosok suami yang romantis. Mas Bagas tetep Mas Bagas, suamiku yang kaku tapi selalu bersikap baik sama aku. Itu sudah lebih dari cukup daripada kamu harus belajar bersikap romantis hanya untuk memenuhi fantasiku."

Tangan pria itu sedari tadi setia menggenggam persnelling dengan tubuh yang mendadak terasa membeku mendengar kalimat istrinya, hatinya menghangat. Ia meresapi sunguh-sungguh pengakuan Sandra. Hal itu terdengar begitu bermakna baginya dan itu terasa cukup.

"Well, aku baru aja confess ke kamu, dan kamu sama sekali nggak bereaksi, Mas. It's embarrassing."

Bagas dengan cepat memutar kepalanya ke arah samping, ia membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "I'm not good at words, Dek. But, I love you, I really do." Dengan gerakan lembut, ia menarik dagu Sandra hanya untuk membubuhkan kecupan kecil di pipinya. "Malam masih panjang, kita pacaran dulu, yuk?"

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang