"SANDRA!"
Itu suara Arin. Menyahut panik kala melihat sebuah becak motor menepi di area parkir foodcourt—area sebelum memasuki area perkemahan.
"Hapemu kenapa? Kok telponku nggak diangkat?" Arin melontarkan berbagai pertanyaan dengan raut yang masih penuh rasa khawatir.
Bagaimana tidak khawatir jika dirinya melihat sang sahabat kembali menaiki sebuah becak dan bersama seorang pria asing—ya walaupun bagi Sandra, Aare tidak asing-asing amat. Tapi bagi Arin, Aare tetaplah pria asing!
"Maaf Rin, hapenya mati." Balas Sandra dengan tubuh sebagian basah terkena air hujan yang semakin deras. Namun jelas tak sebanding dengan Aare yang kini terlihat basah dari atas sampai bawah. Tak ada satu incipun dari tubuh pria itu yang tidak terkena air. Lantas baik Sandra maupun Arin melirik ke arah Aare yang baru kembali setelah membayar transportasi mereka—becak motor. "Aare, besok aku ganti ya uang transportnya." Sahut Sandra tak enak hati. Seakan-akan malam ini, Sandra hanya bermodalkan diri.
Pria itu terlihat kedinginan. Jelas. Siapa sih yang tidak akan menggigil kedinginan jika berhujan-hujanan di malam hari, apalagi di dataran tinggi seperti ini. Aare memang gila. "Iya, santai aja. Kamu balik duluan gih. Aku juga mau balik, ambil baju terus mandi. Keringin dulu badan kamu." Tangannya bergerak memeluk diri sendiri sembari menunjukkan cengiran lebar.
Namun, belum sempat Sandra menjawab, Arin telah menarik wanita itu terlebih dulu. Ia memandangi Aare dengan pandangan tidak suka lalu buru-buru membuka payungnya. "Ayo Sandra. Suamimu nelpon aku terus dari tadi. Aku nggak bisa jawab. Dia khawatir."
Sandra tak mampu membantah. Arin jelas terlihat marah dan kecewa terhadap tingkah Sandra malam ini. Maka ia menurut, berjalan berdampingan di bawah payung sempit yang dibawa Arin. Sebelum langkahnya keluar dari area foodcourt, Sandra menyempatkan diri menoleh ke belakang, ke arah Aare yang masih menatapnya dengan senyuman ceria. Lantas ia berbisik tanpa suara. "Makasih."
Membaca pergerakan bibir sang wanita, Aare lantas mengangguk dan tak berhenti menatap lurus sampai tubuh kedua wanita itu hilang dari pandangan.
"Arin, maaf." Ucap Sandra lirih sembari mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
"Jangan minta maaf ke aku. Tapi ke suamimu." Balasnya cuek sembari merapikan barang-barang mereka agar dapat tidur dengan nyaman.
Sedang Sandra hanya diam melipat bibir, tangannya tak berhenti mengeringkan rambut panjangnya yang basah terkena hujan. Pun bajunya juga telah ia ganti tanpa repot-repot mandi di tengah dinginnya malam. Sandra masih waras untuk tidak menyiksa diri sendiri. Tidak seperti Aare.
Speaking of Aare...bagaimana kondiri pria itu saat ini? Jujur saja Sandra sedikit merasa bersalah. Pria itu jelas berkorban demi menjaga batasan, toh dalam lubuk hati terdalamnya Sandra masih bersedia untuk berbagi kursi di ruangan sempit bersama Aare agar pria itu tidak kehujanan. Namun melihat sikap yang Aare tunjukkan, kini Sandra merasa malu kepada dirinya sendiri.
Ia adalah wanita bersuami. Bisa-bisanya Sandra memikirkan untuk duduk berhimpitan dengan pria asing yang sanggup membuatnya berdebar panas dingin. Sandra benar-benar dalam masalah.
Tiba-tiba suara dering ponsel milik Arin berbunyi. Mengejutkan mereka berdua yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Your husband's calling. Pick it up." Tanpa repot-repot menatap Sandra, Arin menyerahkan ponsel miliknya dengan mata terjatuh pada barang-barangnya sendiri. Agar terlihat sibuk dan menghindari perbincangan dengan Sandra.
Sandra mengerti. Maka ia meraih ponsel tersebut dan menempelkannya ke arah telinga.
"Mas." Lirihnya pelan.
![](https://img.wattpad.com/cover/318129980-288-k45148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Propinquity Effect: Bittersweet
FanficTidak pernah terbayang di kala usia Sandra Amirah uang menginjak 21 tahun bahwa ia akan menikah. Bagas Adiguna hanya seorang biasa, murid sang ayahanda, yang kebetulan sering datang; yang kebetulan menjadi kesayangan ayahnya; yang kebetulan menaruh...