27. Pottery 101

63 6 0
                                    

"Ayah, udah makan?" Sandra menuruni tangga rumahnya dengan tangan menyangga ponsel di depan tubuhnya. Gambaran wajah sang ayah yang tampak terlalu dekat dengan kamera itu mengundang senyuman geli di bibirnya.

"Dek, hati-hati turun tangganya." Sahut Bagas dari arah kursi meja makan yang mendapati Sandra menuruni tangga tanpa sama sekali menaruh fokus pada langkah kakinya sendiri, khawatir jika Sandra dapat mencelakai dirinya.

"Iya, ini lagi mau sarapan. Mas Bagas udah sarapan duluan. Adek berangkat sendiri ke kafe, Yah." Sandra melangkah mendekati sosok suaminya. Kemudian ia mengarahkan kamera ponselnya kepada Bagas, bermaksud memuat gambar mereka berdua dan menunjukkannya kepada sang ayah.

Bagas tersenyum hangat mendapati wajah mertuanya yang terlihat lebih segar sejak terakhir kali ia berkunjung ke rumah lama istrinya. "Ayah lagi apa?"

"Oh! Mas Bagas!" Sapa Hamzah dengan wajah ceria mendapati menantunya dari balik layar. "Ini...Ayah lagi mau sarapan nih. Mas Bagas sudah sarapan?"

"Saya juga lagi sarapan ini, Yah." Kamera HP itu Sandra arahkan sedikit ke bawah, menangkap isi piring Bagas dan cangkir teh yang masih mengepulkan asap panas lalu kembali menghadap wajah mereka berdua. "Ayah jangan lupa minum obat ya, jangan kecapekan juga. Sandra sering banget ngadu ke saya karena takut Ayah lupa minum obat. Nanti kita juga sering-sering main ke rumah Ayah."

Mendengar suara kekehan Hamzah, Sandra mencebik kesal. Ia melirik sinis sang suami yang kemudian dibalas tawa jahil Bagas yang terdengar menyebalkan di telinga. Maka, ia menjauhkan kameranya dari wajah Bagas. Sandra memilih untuk duduk pada kursinya walau sambil menggerutu. Sedang suaminya hanya tersenyum geli melihat tingkahnya.

"Anak kesayangan Ayah ngaduan. Nggak seru." Keluhnya.

"Yaudah ya, Dek. Ayah mau sarapan dulu. Adek juga sarapan ya." Pamit Hamzah.

"Nanti aku telepon Mbak Mirna buat mastiin Ayah minum obat atau nggak! Jangan bosen-bosen aku telepon terus ya Yah."

"Iya, iya Dek. Haha. Ayah sayang Adek. Wassalamualaikum."

Sandra menutup panggilan mereka dengan balasan salam lalu membuka ruang pesannya yang lain—yang belum sempat ia buka pagi ini. Bagas pun melirik sang istri yang masih berfokus pada ponselnya alih-alih piring di depan mata.

"Dek, makan dulu ayo. Walaupun berangkatnya nggak bareng, sarapannya harus bareng." Bagas menegur lembut sebelum menyendokkan sesendok nasi ke dalam mulut.

"Iya, Mas. Sebentar ya." Balasnya lantaran dirinya sibuk membalas pesan yang tak sempat terjawab sejak ia membuka mata.

Bagas hanya mengamati dalam diam sembari menghabiskan sebagian isi piringnya hingga kadar kesabarannya itu dirasa mulai berkurang karena Sandra tak kunjung menyentuh piring di hadapan. Ia menghela napas sejenak lalu selanjutnya menarik piring di hadapan Sandra untuk menjauhi sang wanita. Lantas tingkahnya itu mengundang tatapan heran si empu, namun belum sempat dirinya melayangkan protes, Bagas lebih dulu menyela.

"Kamu Mas hukum ya. Kalau di meja makan ya makan, Dek." Ucapnya serius.

Sandra mengerjap, terkejut dengan Bagas yang aura cerah cerianya menghilang dengan cepat digantikan raut serius dalam sekejap mata.

"Mas...kamu marah?" Tanya Sandra hati-hati. Maka dengan gerakan kilat ia mematikan ponsel dan menaruhnya menjauh pada kursi sebelah. Ia menyadari kesalahannya.

Bukannya menjawab, Bagas beranjak dari duduknya lalu menambahkan nasi dan lauk pauk ke dalam piringnya sendiri. Sandra yang sudah was-was itu semakin heran kala kursi yang Bagas duduki ditarik mendekati dirinya.

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang