35. Detak Jantung

84 8 4
                                    

Bagas keheranan melihat Sandra yang sudah beberapa hari ini tidak turun bergabung untuk sarapan bersama. Apakah wanita itu marah? Padahal kan seharusnya Bagas yang masih memendam dendam di dalam hati.

Maka, ia meminta bantuan Mak Ani, lagi, untuk menyuruh Sandra agar sarapan bersama.

"Bu, ndak sarapan? Ditungguin Bapak di bawah, Bu." Mak Ani membuka sedikit celah pintu kamar Sandra. Matanya menangkap gundukan selimut yang ternyata membungkus tubuh Sandra.

Yang dipanggil lantas tanpa menoleh menjawab seadanya. "Aku lagi nggak enak badan, Mak. Tolong bilangin Bapak, aku minta maaf nggak bisa nemenin." Suaranya serak, begitu kentara bahwa dirinya habis menangis.

Yang kemudian sampai di telinga Bagas adalah, "Ibu sakit parah kaya e, Pak. Sampai nangis sesenggukan gitu. Kamarnya dingin banget. Kaya e habis muntah lagi sampai lemes."

Bagas tentu panik bukan main. Ia beranjak, meninggalkan sarapannya yang teronggok mengenaskan begitu saja di atas meja dan Mak Ani yang khawatir. Sesampainya di depan pintu kamar Sandra, tanpa izin, Bagas dengan cepat membuka pintu kamar istrinya.

Benar saja, suhu kamar Sandra yang dingin langsung menerpa tubuhnya. Ini terlalu dingin. Dan Bagas dapat melihat tubuh Sandra yang terbungkus selimut menatap kosong ke arah jendela kamar.

"Sandra?" Panggilnya khawatir, ia berjalan mendekat. Mengundang tatapan Sandra yang terkejut akan presensi Bagas di kamarnya. "Kamu sakit?" Pemuda itu berlutut di hadapan Sandra yang masih mengerjap.

Wajah Sandra terlihat pucat, matanya bengkak, dan dahinya basah oleh keringat tetapi senyum menghiasi bibirnya karena merindukan Bagas yang menganggap keberadaanya. Bagas lantas mengarahkan tangannya pada dahi Sandra. Namun bukan demam yang Bagas rasakan, suhu tubuh istrinya terasa begitu dingin.

"Cuma nggak enak badan, Mas Bagas."

"AC kamar kamu dingin banget, dikecilin aja." Meraih remot pendingin ruangan di sebelah lampu tidur, Bagas pun berusaha meningkatkan suhunya. Mendapati suhu ruangan yang sembilan belas derajat Bagas pun lantas berdecak.

"Kayanya hari ini aku mau ke dokter." Imbuh Sandra menatap raut khawatir Bagas. "Beberapa hari terakhir muntah terus. Takutnya perutku ada masalah, Mas." Kilahnya.

"Aku antar aja, nanti jam makan siang aku izin bentar ke Pak Jaya. Kalau nggak bisa ditahan, aku izin telat sekarang." Pria itu mengeluarkan ponselnya yang dari tadi ia genggam di tangan kiri.

Sandra yang gelagapan pun meraih tangan Bagas, mencegah agar pria itu tak melakukan apapun pada ponselnya. "Jangan, Mas, aku nanti berangkat sendiri aja. Mas Bagas bisa ngecek GPS-ku, kalau Mas takut."

"Sandra." Bagas seperti enggan menerima penolakan. Yang mana membuat Sandra menelan ludah dan memutar otak.

"Mas, aku nanti minta tolong Bang Fahri aja. Kemungkinan antrinya lama, Mas. Nggak bisa estimasi waktu." Sandra merujuk kepada Fahri, dokter spesialis penyakit dalam.

"Aku anterin ke klinik umum aja nggak usah ke rumah sakit. Nanti kalau butuh lab, aku anter ke Prodia."

Sandra sungguh tidak memercayai pemikiran Bagas. "Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu pikir aku mau ketemu sama dia?"

Perkataan Sandra yang menuduhnya membuat alis Bagas mengernyit, raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. "Aku khawatir, bukan cemburu, Sandra. Kamu sakit, aku harus tau istriku sakit apa. Aku mau nemenin kamu periksa karena aku peduli."

"Mas...nanti aku kasih tau hasil pemeriksaan dokter. Kalau ada pemeriksaan lab, aku juga bakal kabarin kamu."

Melihat Sandra yang bersikeras menolak Bagas, pria itu menyerah. Entah apapun alasan sang istri, ia tetap khawatir luar biasa. "Sama Mak Ani, ya?"

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang