28. Resolusi

38 6 0
                                    

"Ayo dong, Dek! Yang semangat. Come on." Bagas menghentikan lari kecilnya ketika menyadari Sandra yang masih tertinggal di belakang—ngos-ngosan.

Demi mempersiapkan kehamilan—yang masih jauh dari rencana mereka berdua, Sandra datang kepada Bagas suatu malam hanya untuk mengucapkan resolusi terbarunya: Sandra ingin merubah gaya hidup menjadi lebih sehat!

Di hadapan Bagas, Sandra berikrar dengan gebuan semangat. Wanita itu bersungguh-sungguh ingin membatasi intensitas makan seblak bersama Arin, mengurangi jajan-jajan yang tidak sehat—termasuk martabak, serta akan lebih rajin berolahraga—di samping kegiatan toko yang juga sudah melelahkan. Oleh karena itu, Bagas dengan semangat yang sama ikut berjanji bahwa dirinya akan membantu Sandra dalam prosesnya serta berusaha untuk hidup lebih sehat pula. Pemuda itu juga serius mengatakan akan mengatur pertemuan dengan dokter kandungan jika Sandra telah siap untuk memulai program kehamilan bersama.

"Capek aku, Mas!" Ia mendengus. Mampu membuat Bagas berbalik untuk menghampiri dengan larian kecil.

"Dek...kita bahkan belum sampai depan gang tapi kamu udah kaya mau pingsan." Keluhnya. Mengundang gerutuan Sandra yang merasa tidak terima—egonya disenggol.

"Mas kira-kira dong! Aku kan jarang olahraga, masa udah disuruh lari-lari aja?! Belum terbiasa!"

Bagas memahami maksud istrinya dan ia menyadari mungkin saja caranya juga salah. Semua memang harus karena terbiasa. "Iya, yaudah. Maaf ya Dek." Bujuknya kepada Sandra yang kini malah ngambek. Gadisnya berjalan di depan, meninggalkan Bagas yang merasa bersalah.

"Aku maunya kita jalan pagi pelan-pelan kaya gini nanti dilanjut jogging kalau sudah terbiasa. Bukan langsung lari kaya mau latihan akademi militer." Keluh Sandra kala Bagas telah berjalan beriringan di sebelahnya. "Mentang-mentang Mas kuat lari. Coba kalau Mas aku ajakin berenang, pasti kalah. Kamu kan nggak bisa berenang. Badan doang yang besar, berenang masih gaya batu!"

Duh! Habis sudah Bagas pagi ini kena semprotan Sandra. Mana segala pakai bongkar aib keras-keras di pagi damai seperti ini. Setengah enam pagi, untung saja tetangga mereka masih sibuk mengurus persiapan dan keperluan sekolah dan kerja, mengingat hari ini masih hari aktif.

"Jangan marah-marah, Dek. Maafin Mas dong." Bagas merangkul kedua pundak Sandra dan membantu mendorong punggungnya ke depan agar mereka melangkah lebih cepat.

"Aku nggak marah." Dengusnya, memalingkan muka, enggan menatap wajah Bagas yang memelas—ekspresi yang pasti dapat membuat Sandra iba.

"Iya, Dek Ayu nggak marah sama Mas. Yaudah. Kita ganti topik aja kalau begitu ya?" Mendengar kalimatnya sendiri, Bagas ingin tertawa. Daripada membujuk istri, kini ia terdengar seperti tengah menenangkan anak kecil. Yang dibujuk pun tampak masih bersikap acuh padanya. "Nanti adik tingkat Dek Ayu jadi datang ke toko?"

Sandra kembali menatap lurus ke depan setelah sedikit lama membuang wajah menjauhi Bagas. Kepalanya mengangguk singkat sebagai balasan. "Namanya Gita. Anaknya baik loh, Mas." Nada bicaranya seketika berubah menjadi bersahabat.

"Ah, gitu ya." Setelahnya ia kelimpungan untuk mencari topik pembicaraan. Hening memakan langkah mereka hingga mendekati lapangan komplek.

"Sebentar ya Mas, aku mau chat Mbak Mirna dulu, mau ngecek ayah." Sandra mengeluarkan ponselnya daru dalam saku celana training merah muda yang tengah ia gunakan. Bagas yang dimintai izin kontan melongokkan kepala mengintip percakapan antar dua wanita tersebut. "Jam segini biasanya ayah udah duduk di teras. Atau mungkin sekarang juga jalan pagi sama kaya kita." Senyumnya mengenbang.

"Ih iya bener. Ayah lagi jalan pagi." Sandra memamerkan ruang pesannya dengan asisten sang ayah ke hadapan Bagas. "Kita jangan mau kalah Mas!" Imbuhnya berambisi.

Propinquity Effect: BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang