Newwie mengecek jam di ponselnya. Pukul sembilan pagi. Lelaki itu sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi entah kenapa sejak tadi dia masih bergulung di dalam selimut. Sinar matahari yang menyelinap masuk ke dalam kamarnya, seolah menyapa namun tidak dia hiraukan.
New merubah posisinya dari miring ke kanan jadi terlentang. Netranya menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya di penuhi oleh satu nama yaitu Tay. Baginya rasanya tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding mengetahui kalau salah satu pihak dalam sebuah hubungan sudah merasa jenuh. Bosen dengan hubungan yang sedang dijalininya.
Jangan gegabah, kalo mau lakuin sesuatu dipikir baik baik dulu ya.
Suara Gawin tiba-tiba kembali terngiang di kepalanya sekarang. Ada benarnya juga ucapan dari Gawin sebenarnya. Tetapi kalau salah satunya udah jenuh, apa New masih ada hak untuk meminta Tay bertahan dalam hubungan mereka? Dia pikir tentu saja tidak.
Suara ketukan pintu terdengar di telinganya berbarengan dengan suara Mook yang memanggil.
"New, kamu udah bangun belom?" Tanya Mook.
New mengubah posisinya jadi duduk diatas kasur.
"Udah, Ma."Dengan begitu pintunya terbuka dengan menampilkan sosok wanita paruh baya yang tersenyum ke arahnya. Mook berjalan mendekat ke anaknya. Senyum itu mendadak luntur ketika memperhatikan New.
"Mata kamu sembab, New. Kamu abis nangis?" Tanya Mook khawatir.
New menggeleng sambil tersenyum.
"Enggak kok, Ma."Gue nggak mungkin cerita ke Mama kalo gue emang abis nangis karena Tay
Mungkin hatinya memang sakit dan sedang sedih sekarang karena Tay. Faktanya lelaki itu memang menyakiti hatinya. Lagi... dan selalu begitu. Dia pikir bisa dibilang mungkin Tay memang brengsek karena selalu saja membuat New menangis, tapi sosok Tay yang Ibunya tahu adalah anak yang baik. Bahkan, mungkin Ibunya tidak pernah tahu seberapa seringnya Tay menyakiti hati New.
"Kamu berantem sama Tay?"
Mendengar pertanyaan Ibunya membuat New menelan salivanya. Detik berikutnya dia justru menggeleng sambil tersenyum, tapi dia tidak menjawab pertanyaan Ibunya.
Mook duduk disamping New. Tangannya lantas mendekap anaknya dari samping.
"Up and down dalam hidup itu biasa, New. Apalagi dalam suatu hubungan. Bertengkar, beda pendapat, salah paham itu biasa. Tinggal dari masing-masing kita menyikapinya kaya gimana."
"Dalam hubungan itu ada yang saling bahagia. Ada yang tetap berusaha bertahan dalam hubungan setelah dikecewakan. Ada juga yang lebih memilih pergi setelah merasa nggak ada yang harus dipertahankan lagi." Mook mengelus kepala anaknya lalu berucap lagi.
"Cinta itu saling membahagiakan, bukan saling menyakiti kan?" Kalimat Ibunya membuat New terdiam. Tidak ada yang salah dari ucapan Ibunya. Memang seharusnya seperti itu bukan?
Mook menarik dirinya dari anaknya. Ditatapnya anak lelakinya itu dengan lembut.
"Do what you want to do, tapi setelahnya nggak boleh ada penyesalan di kemudian hari. That's why setiap mau lakuin sesuatu harus dipikir matang matang ya sayang."
"By the way, Mama kesini karna mau manggil kamu. Ada Bright di bawah nyariin kamu. Mama tinggal ya..."
Setelahnya New hanya menatap punggung Ibunya yang kemudian menghilang dari pandangannya. Dia memikirkan kata-kata dari Ibunya tadi sebelum akhirnya dia cuci muka dan sikat gigi lalu pergi ke bawah untuk menemui Bright.
"New, gue kesini mau balikin ini." New yang baru saja muncul langsung diberikan bingkisan miliknya yang seharusnya dia kasih untuk Tay.
"Lo lupa bawa turun dari mobil gue. Nih..."
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR [END]
FanfictionLong Distance Relationship. Jujur, Tay benci dengan sebutan itu. Membayangkan harinya tanpa Newwie dalam waktu yang tidak sebentar membuat kepalanya pusing. Disatu sisi dia juga tentu saja tidak bisa memaksakan egonya agar New tetap tinggal disini d...