Beberapa waktu berlalu. Sejak kejadian malam itu, hari ketika Tay kehujanan di depan rumah New. Hari ketika New dengan terang-terangan meminta Tay untuk tidak pernah datang lagi kepadanya.
Malam itu New dapat melihat sosok rapuh dari diri Tay. Melihat Tay menangis memang bukan hal yang pertama untuk New. Dia masih ingat sewaktu dia harus pergi ke Australia, lelaki itu juga menangis di hadapannya. Tapi, tangis Tay malam itu terasa berbeda. Entah kenapa New dapat merasakan hanya dengan lewat tangis dan sorot mata Tay, jelas lelaki itu terlihat sangat terluka atas sikapnya.
Sebenarnya New tidak pernah benar-benar bermaksud seperti itu pada Tay. Melihat lelaki itu terluka tentu juga membuatnya ikut merasakan luka yang sama. Meski luka yang dia rasakan sebelumnya jauh lebih banyak, namun hanya dengan melihat Tay menangis membuat hatinya ikut hancur. Mungkin benar apa yang dibilang oleh banyak orang, bahwa ketika orang yang disayangi bahagia maka kita akan bahagia. Begitu juga sebaliknya.
New memang meminta Tay untuk tidak datang lagi. Dia spontan berucap seperti itu karena ingin menyembuhkan lukanya sendiri. Dia hanya tidak ingin kehadiran Tay yang terus menerus mendekatinya lagi justru membuatnya semakin sulit melepas dan melupakan semua tentang Tay.
New pikir perkataannya malam itu hanya sebagai angin bagi Tay karena dia tahu betul kalau lelaki itu tidak mudah menyerah dalam setiap hal. Namun, satu hal yang dia sadari kalau ada yang berubah dari Tay. Semenjak malam itu Tay benar-benar tidak pernah menunjukan batang hidungnya lagi di depan New. Bahkan, Tay tidak pernah mencoba menghubunginya lagi.
Did you really give up on us?
"Sayang?" Suara Mook terdengar dari depan pintu bersamaan dengan suara pintu yang di ketuk oleh wanita paruh itu.
"Masuk aja, Ma." Ujar New.
Mook membuka pintu kamar anaknya. Wanita paruh baya itu sempat berdiam diri diambang pintu sebelum akhirnya mendekat lalu duduk di pinggir kasur seraya merapihkan rambut bagian depan anaknya.
"Selama kamu di rumah sakit waktu itu... setiap Tay dateng, kamu selalu cuekin dia."
"Mama denger dari Bright. Kamu putus sama Tay, itu bener?"
Bright ember bocor banget sih lo
New sebenarnya sedikit terkejut ketika Ibunya tiba-tiba bertanya. Tetapi jauh sebelum hari ini terjadi, dia sudah mengira kalau cepat atau lambat mungkin Ibunya akan menyadari ada perubahan diantara New dan Tay. Perlahan New mengangguk untuk menjawab.
"Iya, aku yang mutusin." New sempat melihat ekspresi terkejut dari wajah Ibunya, namun Mook sekarang hanya mengulas senyum tipis.
"Kenapa sayang? Any problem with you two?" Tanyanya seraya mengelus rambut anaknya.
"Complicated, Ma." Jawab New. Dia juga bingung harus menceritakan kepada Ibunya bagaimana.
"Aku putusin dia karna aku pengen dia seneng dibanding dia ngerasa terpaksa jalanin ini sama aku." Katanya. Padahal mengingat kembali keadaan Tay malam itu tentu membuat New melihat betapa hancurnya lelaki itu.
Sejujurnya mungkin New juga sudah berada pada ambang batas kesabarannya dengan semua perilaku Tay terhadapnya. Tapi, dia tidak bisa mengelak kalau alasan utama dia memutuskan hubungannya adalah karena dia ingin melihat laki-laki itu bahagia meski tanpanya.
New bukan tipikal orang yang akan memaksakan sesuatu jika sudah merasa tidak nyaman. Dengan mengetahui Tay jenuh dengan hubungan mereka, maka New pikir melepas Tay dari ikatan ini merupakan satu-satunya cara untuk melihat lelaki itu bahagia.
"New, mungkin Mama nggak tau masalahnya apa. Mama tau kamu sama Tay udah gede, pasti udah bisa mutusin baiknya gimana. Mama cuma mau bilang kalo setiap orang pasti ada lebih dan kurangnya, nggak ada yang sempurna baik itu kamu maupun Tay."
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR [END]
FanfictionLong Distance Relationship. Jujur, Tay benci dengan sebutan itu. Membayangkan harinya tanpa Newwie dalam waktu yang tidak sebentar membuat kepalanya pusing. Disatu sisi dia juga tentu saja tidak bisa memaksakan egonya agar New tetap tinggal disini d...