tiga

14K 2.9K 119
                                    

Eee, kaget ya?

***

Dia sendiri tidak protes dan akhirnya memilih bangkit dari tempat duduknya. Lebih baik menunggui galon diisi air daripada berada satu ruangan dengan mama yang nampaknya sesak napas bila melihat wajah anaknya. Sedang, Gladiola sendiri kemudian tersenyum karena melihat tanaman lidah buaya miliknya yang berada di dekat tempat pengisian galon sudah terlihat gemuk dan subur.

Habis ini gue mau pencet jerawat, terus maskeran lidah buaya. Mumpung libur panjang, siapa tahu nanti masuk sekolah udah kinclong.

Lima menit kemudian, ketika Gladiola sedang mengisi galon ke lima, sebuah klakson motor membuatnya menoleh dan suara familiar milik Hans yang menenteng dua galon kosong pada akhirnya telah berhasil menyebabkan sulung dari dua bersaudara itu diam-diam merapikan rambut dan mengusap wajahnya yang penuh minyak sebelum akhirnya merespon Hans yang berkali-kali memanggilnya.

“Tante, isi galon.”

Huh, napas yang benar, La. 

“Tante. Tante. Mata lo soak.” Gladiola mulai menyembur. Sedetik kemudian dia memarahi diri karena setiap bertemu Hans, tidak pernah sekali pun dia jadi anggun dan semanis Ranti. Selalu saja akhirnya dia akan bicara kasar dan barbar.

“Lah, emangnya gue manggil lo? Manggil emak lo. Gue nggak tahu kalau lo ada di rumah hari ini. Biasanya udah minggat.”

Hari itu, Hans mengenakan celana basket selutut serta kaos oblong berwarna cokelat susu. Walau cuma tampil dengan dandanan rumahan sederhana plus sandal jepit yang talinya hampir copot, Gladiola selalu tidak bisa melewatkan kesempatan menatap ikan goreng yang sukarela datang ke hadapannya. Meski sejurus kemudian dia pasti akan merasa amat terluka karena tahu, tujuan pemuda itu datang sama sekali bukan untuk mencarinya.

“Ranti pergi, ya?” Hans melirik ke arah rumah yang posisinya di belakang warung milik mama. Wajar saja dia tahu, absennya suara manja sang adik serta tidak adanya sandal cantik milik Ranti yang berwarna merah muda membuat Hans perlu mengkonfirmasi dugaannya.

“Auk.”

Decakan terdengar dan dia tahu Hans tidak suka mendengar jawaban ketus seperti itu. Tetapi, Gladiola memilih fokus dengan galon di hadapannya saat ini yang sedang dibersihkan dengan sikat botol berukuran jumbo elektrik. Dia tidak mau banyak berinteraksi dengan Hans ketika bibir pemuda itu tidak lepas menyebut nama Ranti.

“Kuat, nggak? Badan cebol gitu ngangkat galon.” Hans terkekeh saat Gladiola sudah menyalakan keran di galon yang pertama sementara dia mencuci galon yang kedua.

“Nggak usah ngatain gue, dah. Lo aja bisa gue angkat.” Gladiola membalas jemawa. Dari kecil dia sudah bertugas membawa segala macam barang yang disuruh oleh orang tuanya. Bahkan ketika kelas enam, dia sudah sanggup memanggul karung beras 20 kg.

Gladiola tidak banyak bicara lagi karena Hans kembali membahas nama Ranti dan telinganya berdenging tidak nyaman. Untung saja galon pertama kelar dengan cepat dan dia kemudian mengangkat benda tersebut lalu tanpa ragu menyerahkannya kepada Hans yang sudah siap menerima galon dari kakak gebetannya.

“Iye, tahu. Nenek lincah seterong.”

Gladiola mengulum bibirnya sewaktu mendengar Hans menggodanya seperti itu. Tetapi, di telinganya, godaan tersebut seperti sebuah vonis yang menunjukkan kalau dia benar-benar tidak punya kesempatan sama sekali seperti Ranti yang telah mencuri hati Hans sejak dua bulan lalu.

“Gue balik dulu. Ntar ambil satu lagi.”

“Serah.” balas Gladiola dengan ketus sewaktu Hans menyerahkan lembaran ribuan kepada gadis berambut Kriwil tersebut dan ketika Hans membawa galon pertama dengan motornya, dia cepat-cepat menyelesaikan galon kedua lalu membawanya ke atas meja yang sebelum ini menjadi tempat meletakkan sayur. Karena hari sudah lewat tengah hari, maka tumpukan sayur yang belum laku tersebut dipindahkan ke kulkas supaya tetap segar bila ada yang ingin membeli kembali. Dia sendiri setelah mengisi galon, memutuskan untuk masuk ke warung lagi yang letaknya bersebelahan dengan depot galon. Bagian depan rumah mereka disulap papa menjadi dua kios bersebelahan. Satu untuk warung dan satu lagi untuk galon. Untunglah, saat siang tidak banyak pembeli yang datang dan Gladiola lebih banyak menghabiskan waktu selain untuk membaca juga latihan menggambar. Cuma sayangnya, bagi mama dan papa, pekerjaannya itu malah disebut sia-sia dan menghabiskan kertas saja. Karenanya, dia selalu melakukan hobinya tersebut secara sembunyi-sembunyi.

Suara klakson terdengar lagi dan Gladiola tahu bahwa Hans sudah kembali. Dia mulanya ingin membenamkan diri ke dalam coretan sketsanya ketika sadar, Hans sudah berdiri di depan warung dan memandang penuh minat ke arah sketsa yang sedang dia buat.

“Bukan muka gue, kan, itu?” tunjuk Hans ke arah gambar. Gladiola sendiri mendengus dan nyaris tersembur tawa karena pemuda di depannya tersebut amat percaya diri.

“Enak aja. Pacar gue ini. Namanya Ko Edward.”

“Edward siapa? Gue nggak kenal.” Hans menjulurkan tangan, hendak mengambil buku tersebut tetapi Gladiola keburu memukul tangannya dengan pensil dan dia segera menyelamatkan buku itu sebelum Hans mendapatkannya.

“Tukang risol belakang SD.” jawab Gladiola. Dia lantas berdiri dan menunjuk ke arah galon lalu mengusir Hans supaya cepat pergi dari situ. Walau dia masih ingin berlama-lama ngobrol dengannya, Gladiola sadar, dia akan makin menyakiti dirinya sendiri.

“Risol? Emangnya ada?”

Gladiola tidak menjawab sekali pun Hans memanggil. Dia tidak mau lagi meladeni pemuda itu dan pura-pura masuk rumah karena semakin lama menatap wajahnya membuat Gladiola makin nelangsa dan dia berpikir jika sisa liburan dihabiskan di rumah nenek, mungkin suasana hatinya tidak sekacau ini.

Dia sebaiknya berkemas dan besok pagi-pagi sekali dia akan berangkat ke rumah nenek walau tahu, tinggal di sana juga tidak bakal membuat Hans enyah dengan mudah dari otaknya.

***

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang