sembilan

11.3K 2.6K 258
                                    

Ola di KK ama KBM mulai ramai. Udah bab 20. Bab 19 ada tragedi kantong menyan malang. Padahal itu aset, yes. Wkwkk.

Udah bacak?

***

9 Pelangi di Langit Gladiola

Setelah masuk sekolah, Gladiola pada akhirnya memberanikan diri menemui tetangganya, Kiki yang kebetulan bekerja di sebuah swalayan tidak jauh dari kompleks perumahan mereka. Dia sudah menguatkan dirii, bila bekerja dia mungkin tidak akan lagi dicap sebagai anak yang suka menghabiskan makanan di warung. Dia sempat dimarahi mama usai perayaan ulang tahun Ranti. Ketika itu sudah hampir pukul lima. Pesta seharusnya usai, tetapi gerombolan teman adiknya masih nongkrong dan malah karaoke bersama. Padahal perutnya sudah keroncongan dari siang. Gladiola hanya sempat makan dua bungkus kacang koro untuk mengganjal perut. Tetapi, ketika akhirnya sudah tidak tahan lagi, Gladiola mengambil dua bungkus Indomie goreng, sepotong tahu dan beberapa biji cabai rawit untuk dia masak di dapur.

Lagipula, hampir tidak tersisa lagi makanan di atas meja. Mama sudah terlalu gembira ngobrol dengan ibu-ibu kompleks seolah memamerkan kalau anak bungsunya laris manis diincar anak bujang sekitar dan rombongan tamu agaknya kelewat lapar sehingga lupa kalau ada manusia lain yang kelaparan di pojok warung. Mereka juga tidak peduli sama sekali dengan perasaan Gladiola yang hancur lebur sehingga dia makan seperti pengungsi yang tidak pernah ketemu nasi. 

“Bangkrut lama-lama warung gue kalau isinya lo embat terus.”

Tenggorokannya sakit sekali walau saat itu dia makan Indomie kesukaannya. Mama yang amat hapal aroma mi goreng memergoki anaknya makan di dapur, lesehan tepat di depan meja kayu tempat kompor berada. Tidak hanya mi goreng, Gladiola juga menyikat dua bungkus teh instan bubuk yang harganya lima ratus rupiah lalu mencampurnya dengan air dan es batu. Kalau dihitung-hitung, Gladiola menghabiskan tidak sampai sepuluh ribu rupiah. Tetapi, gerutuan mama seolah-olah dia yang menghabiskan uang wanita itu. 

Padahal gue udah jagain warung dari pagi. Masak gue nggak boleh makan? Gue mau ke mana lagi, coba? Bi Ambar gemes ama gue, dia bilang males, nggak punya kebisaan. Sekarang, mak gue sendiri nganggap gue ngabisin duit. 

Gladiola bahkan sempat ke kamar mandi, menyodok-nyodok kerongkongannya dengan telunjuk dan jari tengah supaya isi perut yang dimakannya keluar. Namun, dasar tubuhnya pelit setengah mati. Walau dia ingin sekali muntah, tidak ada yang keluar dan setelah lima menit kelelahan berusaha mengeluarkan mi yang dia makan, akhirnya, Gladiola memutuskan kembali ke kamar dan merenungi nasibnya.

Dia juga sempat memukul kepalanya sendiri dengan batu ulekan, tepat di bagian puncak kepala biar cepat mati dan tidak lagi menyusahkan orang tuanya. Hanya saja, yang ada malah dia mendapat benjol dan sebuah keluhan pada akhirnya keluar dari bibirnya begitu dia sudah berbaring di atas kasurnya di dalam kamar.

“Mati nggak, benjol iya.”

Jadi, sepulang sekolah di hari pertama masuk, tanpa pikir panjang, Gladiola segera menuju supermarket Seger Tentrem yang bisa dia capai dengan naik ojek yang biasa mangkal di depan sekolah. Untung saja dia punya tabungan sehingga jatah jajannya yang memang sedikit tidak membuatnya sedih. Toh, kalau memang tidak punya, Gladiola akan puasa hari itu demi bisa menemui Kiki yang dia tahu bakal menjadi juru selamat atas nasibnya yang menyedihkan selama bertahun-tahun.

Dia sampai di depan supermarket sekitar lima menit kemudian. Gladiola sudah mengepang rambutnya yang berantakan agar tidak memalukan ketika dia bertemu Kiki. Hanya saja, dia tidak sempat berganti seragam sehingga dia agak malu-malu ketika bicara dengan satpam dan hendak dipertemukan dengan Kiki. 

“Gue kira lo nggak datang.” Kiki membalas begitu akhirnya mereka bertemu di belakang supermarket, dekat gudang. Kiki sedang berada di sana dan sekalian saja dia meminta satpam agar menyuruh Gladiola menemuinya.

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang